Kaki kecil itu berjalan menyusuri trotoar jalan dengan keadaan basah kuyup, karena hujan turun dengan begitu derasnya.
Seragam sekolah yang melekat ditubuh mungilnya juga terlihat bernoda kotor. Akhirnya Naren bisa menemukan kalung itu yang terjatuh disebuah selokan dibelakang sekolah, tempat ia kemarin bermain bersama beberapa temannya.
Kaki Naren terus berjalan, meski ia sendiri tak tahu kemana tempat yang akan dijadikannya sebagai tujuan.
Seperti pilihan buruk ingin sok-sokan belajar dewasa dengan pulang sendirian seperti teman-temannya. Rupanya tidak ada angkot ataupun taksi yang bisa ia tumpangi saat hujan turun dengan deras seperti ini.
"Hiks ... Nalen takut ... Nalen takut. Kak Aiy tolong peluk Nalen," ujarnya gemetar dan terus terisak.
Gemuruh petir seolah menjadi momok yang amat menakutkan baginya. Naren memang menyukai hujan karena merupakan waktu bermain yang begitu menyenangkan. Namun tidak jika petir ikut datang secara bersamaan.
"Hiks ... maafin Nalen, Mama. Nalen janji ga bakalan nakal lagi." Bibirnya masih belum berhenti meracau dan terisak sejak tadi.
Bagiamana pun ia harus segera pulang, dan memberikan kalung ini kepada Mamanya yang berada dirumah.
Naren berjanji tidak akan pernah lagi membuat sang Mama kembali bersedih dan marah. Ia menyesal karena selama ini sering tidak menurut dan selalu menyusahkan saja, tanpa mengetahui jika wanita itu juga menyimpan beban dan luka, yang tidak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan didepan mereka.
Naren berharap sekarang ada seseorang yang segera menemukan dan membawanya untuk pulang. Suasana disekitar amat sepi, bahkan hanya dapat dihitung kendaraan yang melintas di jalanan.
Naren sendiri tidak tahu saat ini ia tengah berada dimana. Karena sejak tadi hanya terus berjalan mencari angkot yang mungkin bisa membawanya pulang. Namun, mungkin karena terlalu jauh ia tak sadar telah tersesat dan kehilangan arah, ditambah hujan yang tiba-tiba turun.
Mata Naren secara tak sengaja melihat kearah seberang, tampaknya ada tempat yang bagus untuk berteduh disana.
Sebuah halte.
Tanpa pikir panjang kaki kecil itu segera melangkah cepat ingin menyeberangi jalan, sayangnya dengan tidak lagi menghiraukan kanan kiri.
Fokusnya sudah terkunci diseberang jalan sana, tidak memikirkan jika hal itu mungkin saja akan membuat ajal segera menjemputnya.
Baru dua langkah anak itu menyeberang jalan, tanpa menyadari jika sebuah mobil dengan kecepatan tinggi juga tengah melaju menghampirinya.
BRUUKKKK!!!
Kejadian itu berlangsung sangat cepat.
Dalam sepersekian detik, tubuh mungil itu seketika terpental jauh, sebelum akhirnya mendarat di aspal jalanan.
Satu kata, syok.
Naren yang masih sadar seketika bergeming, mencerna.
Tubuhnya seketika kaku untuk digerakkan, bahkan hanya untuk sekedar berbicara. Dunianya berputar, menatap nanar ke arah angkasa, air hujan yang begitu lebat membuat matanya sulit untuk tetap terbuka.
Apa yang baru saja terjadi?
Jemari kecilnya mulai bergerak pasif, bibirnya bergetar ingin membisikkan sesuatu, namun nyaris tak bisa.
"M-mama..." Tolong...
Tubuh Naren kini benar-benar terbaring tak berdaya, mati rasa, dengan cepat darah juga mulai mengenang disebelah badannya. Bau anyir seketika menusuk indera penciuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, di mana letak rumah pulang sebe...
