Katanya Jogja itu selalu istimewa.
Tempat yang menyimpan begitu banyak cerita, rasa, rumah, asa, serta rahasia yang mulai terungkap perlahan-lahan.
Nostalgia.
Sebuah penantian panjang, menunggu hadirnya seseorang yang akan membuatnya semakin istimewa.
Selain laut dan senja, Nadhira sering sekali berucap akan kekagumannya terhadap kota ini. Tempat berkesan, dimana memori-memori masa kecil tersimpan, kerinduan akan hadirnya sosok Ibu, serta rumah yang senantiasa menjadi tempat pulang.
Sejak turun dari mobil yang baru saja memasuki halaman rumah milik salah satu perwira tinggi Angkatan Darat itu, Nadhira disambut oleh sosok bocah laki-laki yang langsung menghambur pelukan kearahnya.
"Bibi Ira!!!"
"Umar?"
Nadhira sedikit tersentak, kemudian tersenyum tipis saat melihat kearah bawah. Bocah itu merupakan keponakannya yang baru berusia sekitar lima tahun.
"Wihh .... Paman baru juga datang?" ujarnya polos, sekaligus girang saat melihat kedatangan pria yang berada di samping Bibinya itu.
Wildan hanya tersenyum kecil, segera berlutut menyamakan tinggi badan mereka, kemudian mengacak gemas rambut ikalnya. Pipi yang putih selembut susu, serta mata indah berwarna hitam pekat itu sekilas mirip dengan Nadhira.
Dari arah belakang Umar terlihat juga seorang pria yang menghampiri mereka. Pria berpostur tegap, mengenakan pakaian PDL tentara angkatan laut yang atasannya dilapisi oleh jaket kulit berwarna hitam.
"Seharusnya kau menyambut mereka untuk masuk kedalam terlebih dahulu, Umar." Sahutnya.
Pemilik tatapan tajam dan berwajah datar itu adalah saudara laki-laki Nadhira, Kak Azzam.
•••
Selain Azzam, dari perkenalan singkat mereka, Wildan juga mengetahui jika Nadhira memiliki saudara laki-laki tertua yang sejak masih kecil diasuh oleh keluarga mendiang Ibunya yang tinggal di Jeddah, yakni Kak Alif.
Namun, berbeda dengan Azzam yang mengikuti jejak sang Ayah di kemiliteran, Alif malah berkecimpung di dunia bisnis, bahkan sudah memiliki perusahaan yang cukup berkembang.
Sayangnya, saat mereka kemarin menikah ia tak dapat datang dan hanya dapat terhubung lewat sambungan telepon, serta kiriman surat dan tiket perjalanan untuk berlibur ke Jeddah, yang ia hadiahkan untuk pernikahan mereka.
Wildan hanya dapat menatap dari kejauhan, bagaimana interaksi hangat antara Bibi dan keponakan yang kini sedang bermain di halaman rumah.
Tawa riang milik Umar, serta senyum manis yang sejak tadi terpatri di wajah Nadhira merupakan pemandangan indah yang membuat Wildan tak pernah bosan menatapnya.
Seketika ia melihat gambaran jika mereka punya anak nanti.
Berkhayal lagi.
Wildan pikir lama-lama otaknya semakin matang untuk berfantasi, menjelajah imajinasi masa depannya.
Mereka mungkin akan menjadi keluarga paling bahagia, Nadhira dengan jiwa keibuannya tengah mengendong seorang putri dan putra yang mirip dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Fiksi RemajaNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...