✧When You Promise || 36✧

2K 133 0
                                    

Jemari kecil itu terlihat mulai mengalami pergerakan. Membangunkan Nadhira yang tadinya ketiduran ditepi ranjang sang putra.

Perlahan kelopak mata jernih itu juga terbuka, dengan binar cerah yang seketika ikut tampak dari iris campuran berwarna hitam dan kecoklatan miliknya.

Hal yang mereka nantikan.

Naren akhirnya mulai sadar.

"Sayang .... bisa lihat Mama?" tanya Nadhira cepat.

Wildan yang baru saja terlelap dengan menggenggam erat sebelah tangan Naren ikut merasakan adanya pergerakan yang sama, membuatnya juga segera terbangun.

Mata bulat itu dengan perlahan mengerjap beberapa kali. Ingin berucap meskipun terhalang oleh masker oksigen yang dipakainya. "M-ma...."

Nadhira seketika tersenyum lega,  sebelum mengangguk. "Iya, ini Mama, sayang. Tunggu sebentar ya?" ucapnya, lalu segera menekan tombol nurse call yang berada didekat ranjangnya.

Pandangan Naren kini malah terfokus pada sosok pria yang ikut berada disampingnya.

Melupakan Aiyna yang tadinya tertidur disofa kini ikut terbangun, dan langsung menghampirinya dengan tergesa, serta sang Mama yang mulai memeriksa tanda-tanda vitalnya.

•••

Keadaan Naren mulai stabil. Meskipun memang masih perlu di pantau lebih lanjut, serta akan menjalani masa pemulihan yang cukup lama.

Wildan dan Nadhira seketika menghela nafas lega, dan berucap syukur saat salah satu dokter dan beberapa perawat yang merupakan rekan Nadhira, membantunya mengecek kondisi sang putra.

"Mau peluk Kak Aiy! Mau peluk...!"

Setelah usai diperiksa anak itu spontan merentangkan tangannya, heboh, ingin menyambut sosok gadis kecil yang kini juga langsung memeluknya.

Isak tangis milik Aiyna kembali pecah, setelah merasa amat khawatir dan terus menyalahkan dirinya melihat keadaan Adiknya beberapa waktu terakhir. "Maafin Kak Aiy udah buat Adek jadi kayak sekarang," ujarnya lirih.

"No! Bukan salah Kak Aiy, Nalen aja yang kemalin bandel. Adek yang minta maaf sana Kak Aiy ya?" balas Naren.

Aiyna menggeleng, perlahan melepaskan pelukan mereka. "Enggak, tetap Kakak yang minta maaf."

"Ihh, Adek aja!"

"Yaudah deh, sama-sama minta maaf." Putus Aiyna. Pada akhirnya ia malah menggelitik pipi berisi Naren membuat anak itu cekikikan, merasa geli.

Akhirnya suara tawa renyah itu dapat kembali menghiasi ruangan yang semula hening dan kosong. Dan terjadilah drama pertemuan kembali anak kembar, yang membuat mereka yang berada di ruangan ini seketika merasa haru.

"Mama bilang ga ada yang namanya hantu, tapi Nalen lihat didekat kita ada alwah...." Naren setengah berbisik saat menunjuk polos kearah sang Papa, kemudian bergidik ngeri diakhir kata.

Nadhira seketika menatap kearah Wildan yang juga melempar tatapan kearahnya. Sebelum tersenyum tipis. "Tapi bukan cuma Nalen aja yang lihat, Mama dan Kak Aiy juga," ucapnya.

"Hm?" Anak itu tampaknya belum mengerti.

Nadhira menyentuh pucuk kepala sang putra dengan penuh kehati-hatian. "Benar kata Naren kemarin, sayang. Papa bakalan pulang sama kita." Terangnya.

Mata Naren kembali melihat kearah Wildan yang juga tersenyum, kembali menggenggam sebelah tangannya dengan erat, hingga terasa hangat, membuat mata bulatnya kembali berkaca-kaca.

"Naren kenapa? Apa masih ada yang sakit? Bilang sama Mama," ujar Nadhira tambah cemas, semakin mendekat saat Naren juga mulai sesugukan.

"Hiks ... tapi Mama bilang kemalin Papa udah ga ada! Nalen ga sehalusnya buat Mama jadi malah dan tambah sedih lagi. Hiks ... maafin Nalen, Mama, Nalen udah ngelti kalau Papa ga bakalan bisa pulang sama kita lagi." Isaknya.

Air mata Nadhira kembali ikut jatuh. "Eh enggak, sayang. Mama yang salah karena kemarin malah marahin dan bentak Naren. Maafin Mama, Naren ga salah. Jadi berhenti nangisnya ya?"

"Hiks ... tapi Mama sendili juga nangis," balasnya, karena merasa sang Mama juga tak menyadari itu.

Nadhira kembali tersenyum. "Naren juga masih sakit, sekarang harus istirahat, jangan terlalu banyak memikirkan yang lain. Pokoknya harus cepat sembuh, okay?" Anak itu mengangguk pelan, saat sang Mama menghapus air mata yang kembali jatuh membahasi wajah pucatnya.

Naren pikir semua yang ia lihat kemarin hanyalah ilusinya belaka saat berada didalam kondisi setengah sadar. Ia bahkan tidak lagi mengingat dengan jelas semua racauan dan apa yang sebenarnya terjadi setelah tubuhnya seakan mati rasa mendarat diaspal jalanan. Selain samar-samar, ia hanya melihat sosok yang menghampirinya, ia rasa hal itu jugalah tak nyata, karena terlalu memikirkan sosok sang Papa.

Jadi pria disampingnya sekarang ini benar-benar nyata? Ia tidak berkhayal ataupun berangan seperti ketika melihat gambaran wajah itu di foto?

Wildan memberikan senyuman yang amat mirip dengan kepunyaan Naren, saat anak itu belum ingin berhenti memandanginya.

"Papa beneran pulang buat Mama, Kak Aiy dan Naren. Maaf karena terlambat dan membuat Naren menunggu terlalu lama. Jadi cepat sembuh ya, anak hebat!"

Tes!

Apa ini benar-benar nyata? Bukan lagi mimpi kerena ia terbuai oleh kisah yang diceritakan sang Mama setiap malam tiba?

Air mata anak itu kembali menetes, saat Wildan berucap demikian. Tangan itu terangkat ingin meraba wajah sang Papa, ingin lebih memastikan. Sebelum kembali Wildan cium dan ia letakkan di pipinya.

"Nalen mau peluk Papa, boleh?" tanyanya parau, kembali menahan tangis.

Wildan menahan senyum, sebelum mengangguk pelan. "Boleh."

"Mama sama Kak Aiy juga." Pintanya, saat Wildan mulai memeluk tubuh mungilnya dengan amat hati-hati, lalu diikuti oleh Nadhira dan Aiyna.

Ya Tuhan, jadi begini rasanya?

Nyaman, bahkan sangat.

Membuatnya sesaat terbuai, bahkan tak ingin melepaskannya.

"Nalen sayang sama Mama, sayang Kak Aiy, sayang Papa juga. Hiks ... Nalen mau sama kalian telus, jangan tinggalin Nalen." Pintanya parau.

"Kita bakalan sama-sama terus, sayang, sama Naren. Jadi cepat sembuh ya? Udah banyak yang nungguin," ucap Nadhira dengan suara tertahan, kembali mengelus pelan pucuk kepala anak itu, penuh sayang.

Naren mengangguk. "Iya, Nalen bakalan sembuh, Mama. Nalen mau pulang ke lumah kita."

"Kak Aiy juga sayang sama Adek, jadi jangan sakit lagi," balas Aiyna, segera menghapus air matanya yang akan kembali jatuh.

Wildan juga kembali mencium tangan mungil anak itu sesekali juga merapalkan doa, berharap untuk kesembuhan sang putra.

Iya, Naren kecil mereka akan segera sembuh dan akan kembali ceria, penuh warna seperti sedia kala. Sudah saatnya juga bagi mereka merasakan kebahagiaan yang lebih utuh.

Wildan, Nadhira, serta dua kebahagiaan yang semakin menghiasi keluarga kecil mereka. Aiyna dan Narendra.

____________________

When You Promise (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang