"Bun ... Mas Wildan bakalan pulang kan?" tanya Nadhira.
Fatimah sampai kini belum sanggup untuk kembali membuka suara, hanya lelehan air mata yang menjadi saksi bisu jika wanita paruh baya itu juga tengah terluka dan berduka.
Setelah kembali lebih dari sepekan, kepulangan Galahan disusul dengan Azzam semalam dengan tangan kosong seolah menghapus secercah harapan, yang sampai saat ini Nadhira nantikan.
"Abah..."
Galahan hanya diam.
"Kak..."
Azzam yang berdiri disana juga hanya bisa menunduk, tanpa sepatah kata.
Nadhira mencoba kembali bangkit, menghampiri pria itu walaupun sendi kakinya sendiri sudah tak sanggup lagi untuk berdiri.
Berharap jika ini hanyalah mimpi, atau kebohongan belaka, sebelum memberikannya kejutan spesial akan kepulangan suaminya yang merupakan sebuah hadiah. Namun sebuah fakta, jika ini memanglah nyata, seolah membungkam mulut Nadhira secara paksa. Sampai isak tangis pun kini tak mampu lagi terucap dari bibirnya untuk menyalurkan duka lara.
Seolah sudah terlalu dalam, gejolak rasa itu membuat Nadhira menjadi semakin tak tahan. Mengapa semuanya seakan terjadi amat cepat? Bahkan seolah tidak memberikan kesempatan pada Nadhira untuk mencerna.
Semesta rupanya turut mencurahkan duka, sejak beberapa hari yang lalu, hujan tanpa henti terus saja mengguyur kota yang katanya selalu istimewa.
Gugur bunga.
Di belahan bumi sana, beberapa putra terbaik bangsa telah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi yang selama ini telah mereka jaga.
Laut menelan dalam-dalam salah satu diantara mereka, seolah ingin dijaga untuk selama-lamanya. Melupakan jika ada sebuah janji yang ikut tenggelam bersamanya.
Mengapa hal yang selama ini Nadhira khawatirkan harus benar-benar kembali terjadi?
Dia pergi.
Ketika dia berjanji akan segera kembali, dia mengatakan hanya akan pergi sebentar lalu akan pulang, untuk selamanya?
Saat tubuh itu hampir terjatuh, Galahan segera menopang badan putrinya itu, ia rengkuh tubuh itu sesaat, untuk ditenangkan.
"Ikhlas, sayang ... ikhlas, istighfar." Bisik Galahan, tidak henti-hentinya mencoba menguatkan putri bungsunya itu.
Nadhira menggeleng brutal, dengan bibir yang terus bergetar, tangisnya sesaat kembali terdengar. Ia merasa sangat hancur, saat ucapan yang memintanya ikhlas seolah terdengar memaksa.
"Mas Wildan, Bah ... bawa dia pulang buat Ira. Ira mau ketemu dia sebentar aja .... boleh kan?" ujarnya amat parau.
Hening.
Semua orang masih diam dan menunduk, hanya tangisan lirih itu yang semakin memecah keheningan.
"Abah..." Manik mata berair milik Nadhira juga menatap kearah Galahan yang sejak tadi memilih lebih bungkam.
"Putri Abah kuat ya, nak," ucapnya lagi-lagi kembali hal itu. Nadhira menggeleng, kembali terisak.
Bukan!
Bukan itu yang Nadhira inginkan.
Nadhira ingin dipertemukan dengan pria itu walau hanya sebentar untuk sekedar menanyakan, apakah selama ini yang Wildan maksud Nadhira sebagai rumah, hanyalah sebuah tempat untuknya bersinggah? Mengapa dia benar-benar bisa setega itu?
Wildan adalah pria yang berhasil membuatnya dengan cepat jatuh cinta, sekaligus jatuh terluka.
Galahan lihat baru kali putrinya kembali yang sejak dulu ia jaga menjadi sangat hancur. Lebih hancur ketika salah satu prajurit yang gugur itu dulu juga pernah meninggalkannya. Meraung keras, menyalurkan semua duka lara, berbeda juah ketika dulu sang Ummi berpulang ia hanya diam tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...