Wildan menyodorkan susu kotak varian strawberry itu pada sosok gadis kecil, yang sejak tadi hanya duduk diam dikursi tunggu depan ruang rawat.
"Makasih," ucap Aiyna.
Wildan tersenyum kecil saat menyentuh pucuk kepala anak itu. Kemudian berganti mengusap pelan punggungnya, terlebih saat Aiyna kembali menundukkan kepala, dan terisak.
"Tidak perlu khawatir. Adek akan segera sembuh," ujar Wildan menenangkan, setelah membawa tubuh mungil itu kedalam dekapannya.
"Hiks .... kalau aja Aiy ga ceroboh, mungkin Adek ga pernah jadi kayak sekarang. Aiy gagal jadi Kakak yang baik," ujarnya, parau.
Wildan menggeleng. "No! Semua anak Papa hebat! Terima kasih udah bantu jagain Mama dan Adek waktu Papa pergi." Pria itu kemudian menghapus pelan wajah kecil yang basah. "Jadi Tuan putri berhenti nangisnya ya?"
Aiyna mengangguk pelan.
Wildan rasanya ingin terkekeh melihat wajah sesugukan milik putri sulungnya, yang menurutnya malah terkesan lucu.
Iris mata Aiyna paling mirip dengan kepunyaannya, maupun dari segi penampilan, sama halnya dengan Naren. Wildan rupanya benar-benar menang banyak, hanya saja kulit putih bersih mereka diturunkan dari Nadhira.
Interaksi putri dengan sang Papa itu sudah terlihat lebih leluasa, meskipun masih tampak setengah sungkan.
"Naren tuh pengen banget ketemu sama Papa. Lagi tidur ataupun sakit, dia pasti selalu panggil-panggil Papa." Kali ini giliran Aiyna yang bercerita dan sang Papa yang masih setia menjadi sepasang telinga.
Wildan jadi ingat kemarin ia mendengar anak itu terus meracau saat di kondisi setengah sadar, namun ia tidak berpikir jika yang di panggil adalah dirinya.
"Sama kayak Mama, Naren juga sering banget lihatin foto Papa, terus suka ngomong sendiri." Aiyna yakin Adiknya itu pasti bahagia sekali, dapat melihat sosok yang selama ini ia harapkan pulang.
Ia bahkan jadi tak bisa membayangkan ekspresi wajah itu nanti, dan terus berharap kembarannya itu segera membuka mata.
Merasa juga sudah amat merindukan tingkah heboh dari Naren, yang membuat hari yang dilalui terasa ada yang kurang tanpanya.
Selama ini Naren rupanya tak salah. Sang Papa akan segera pulang, bersama mereka. Ke rumah kecil yang selalu di hiasi oleh banyak sekali cerita.
"Papa." Wildan kembali menatap sang putri, yang kembali melanjutkan ucapannya. "Setiap malam Mama juga sering cerita tentang Papa, kayak ga pernah ada habis-habisnya. Naren aja sering sampai ketiduran, meskipun jadi yang paling semangat diawal." Papar Ayna membuat sang Papa terkekeh.
Seketika membayangkan saat dulu, ketika malam tiba Nadhira memang antusias sekali berbagi semua pengalaman dengannya.
Sudah lama. Dan Wildan jadi merindukan momen itu. Saat tawa renyahnya tak akan membiarkan adanya celah kekosongan disela-sela ia bercerita.
Humaira adalah sebuah kisah, dan Wildan bahagia bisa menjadi sepasang telinga yang akan selalu setia, mendengar semua kata-kata yang selalu mengalun indah saat keluar dari bibirnya.
"Papa...."
"Hm?"
Kali ini ada sorot tak biasa dari sepasang mata milik Aiyna. "Makasih karena udah mau pulang buat kita. Jadi jangan pernah berpikir mau pergi lagi, karena satu kali aja udah terlalu sakit buat merelakan Papa, apalagi buat kedua kalinya." Pintanya, dengan mata berkaca-kaca.
Wildan tersenyum getir, sebelum kembali memeluk tubuh mungil itu. "Insya Allah, sayang."
Ia tidak ingin lagi mengatakan sebuah janji tanpa berpikir dua kali, apakah benar-benar bisa tepati. Karena ia tahu, jika itu gagal malah akan semakin menyakiti.
•••
Entah mengapa Aksa merasa dirinya dilupakan. Kesalahan dirinya yang terlalu sibuk bertugas hingga tak sempat mendapatkan kabar apapun, atau mereka yang dibuat sibuk hingga tidak memberinya kabar apapun.
Akhir-akhir ini ia memang sering teringat tentang Wildan, bahkan berandai-andai jika saja pria itu masih ada dan hadir di tengah mereka.
Namun sekarang Wildan benar-benar berdiri tegap disana, membuat Aksa awalnya tak percaya, hingga berulang kali mengucek matanya, merasa jika dirinya memang butuh istirahat karena terlalu lelah bekerja.
Pemuda itu kini menangis sesugukan di koridor rumah sakit, saat mengetahui jika sang Kakak rupanya memang benar-benar kembali pulang, bersama mereka.
"Masa udah jadi Komandan tapi masih cengeng aja? Malu sama seragam." Sindir Wildan ingin terkekeh melihat wajah Aksa yang terlihat seperti anak kecil.
"Gua berhasil, Bang, jadi salah satu lulusan terbaik dengan gelar cumlaude, meskipun ga dapet Adhi Makayasa."
Wildan tersenyum, menepuk pundak adik sepupunya itu bangga. Tak menyangka remaja nakal yang kelakuannya seperti preman jalanan, kini sudah menjadi salah satu aparat Kepolisian.
"Lo kemana aja selama ini, Bang?! Sialan emang! Katanya mau lihat upacara gua dilantik jadi Perwira, tapi lo ga taunya malah duluan pergi gitu aja." Cerocosnya tak henti.
"Tapi kan sekarang udah pulang," ucap Wildan cengengesan, setelah merasa kembali di semprot habis-habisan.
"Iya, pulang, tapi malah se-abad kemudian!" balas Aksa menatap tajam, rasanya ingin sekalian menghajar pria itu hingga babak belur.
Wildan hanya terkekeh. "Yaudah, nanti Abang lihat upacara kamu pas dilantik jadi suami aja." Putusnya.
"Sialan, gua masih jomlo lagi!" Umpat Aksa, lalu menghapus kasar ekor matanya. Membuat Wildan seketika berdecak miris.
Kacau, pikirnya.
Namun ia juga sudah mengira bahwa sejak dulu senakal apapun seorang Aksa ia tidak pernah sekalipun dekat apalagi mempermainkan hati seorang wanita.
Meskipun masih begitu sulit untuk menjaga hati dan perasaan. Namun dari sang Kakak lah, Aksa paham, hubungan yang benar-benar dijalin dengan kata keseriusan tidak cukup di landaskan oleh kalimat aku menyukaimu, melainkan qobiltu. Serta sebuah pembuktian, karena cinta bukan hanya di lisan.
"Aiy bantu doa aja ya, Om?" Sela Aiyna ditengah-tengah mereka, seolah peka dan merasa turut prihatin dengan nasib ngenes Aksa.
_________________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Fiksi RemajaNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...