Pagi yang biasanya selalu dibalut oleh suasana heboh sekaligus rusuh, dengan Nadhira yang benar-benar harus ekstra sibuk, bolak balik dari dapur ke kamar mereka. Membuat sarapan, menyiapkan bekal, serta mengurus semua keperluan Naren yang tak ada habisnya. Anak itu seolah tak bisa melakukan apa-apa, selain berteriak memanggil sang Mama untuk bisa membantunya.
Namun hari ini benar-benar berbeda dari biasanya. Saat anak kembar itu turun ke lantai bawah, sarapan rupanya sudah tersaji manis di atas meja.
Bahkan sampai sekarang mereka juga belum melihat kehadiran sang Mama, yang biasa sudah lebih dulu menyapa mereka dengan senyuman lembut disana.
"Mau kemana, Naren? Habiskan!" Titah Aiyna saat adiknya itu tampak ingin buru-buru turun dari kursi, meninggalkan segelas susu dan roti bakar yang tak sedikitpun ia sentuh.
Naren mengehela nafas.
Sejak tadi juga anak itu juga lebih banyak menunduk kebawah. Masih merasa bersalah karena kejadian semalam yang membuat Mama yang selalu bersikap lembut menjadi sangat marah.
"Hari ini kita akan diantar jemput sama Pak Galih," ucap Aiyna, menaruh gelasnya kembali diatas meja.
"Kenapa bukan Mama?" tanya Naren.
Namun bukannya menjawab, Aiyna hanya menatap diam sang Adik, membuatnya kembali menunduk.
Ekspresi yang begitu Naren benci, jika Aiyna sedang marah atau tak suka maka begitu terlihat dari diamnya.
•••
Saat sampai disekolah pun mereka tidak terlibat banyak percakapan. Walaupun keduanya berbeda ruang kelas, namun biasanya Aiyna tetap bisa melihat adiknya itu bermain bersama teman-temannya saat jam istirahat tiba. Anak itu akan selalu tampil menjadi yang paling heboh.
Namun, hingga tiba waktu pulang sekolah, Aiyna merasa tidak mendapati keberadaan adiknya itu.
Suasana sekolah sudah tampak sepi. Membuat gadis kecil itu mendadak merasa khawatir, karena juga terlupa untuk memastikan keberadaan Naren masih tetap diruang kelasnya, seperti biasa.
"Menunggu Den Naren ya, Non?" Aiyna menoleh sekilas, lalu mengangguk sebagai respon pertanyaan pria paruh baya itu.
"Tadi waktu Non belum keluar, Den Naren sudah lebih dulu ketemuan sama Bapak, katanya dia akan ikut sama Om Aksa yang jemput pulang."
"Mungkin Aden sudah lebih dulu pulang." Sambung Galih, membuat Aiyna menghela nafas pelan.
Pantas saja.
Tapi yang sekarang mengganjal dibenak Aiyna, mengapa adiknya itu tidak izin lebih dulu padanya? Tumben sekali.
Aiyna masih ragu dan terselip perasaan tak enak. Namun melihat keadaan sekolah saat ini seperti tak berpenghuni, semakin meyakinkan jika anak itu sudah lebih dulu pulang meninggalkannya.
"Kalau gitu ayo pulang, Pak." Ajak Aiyna pada Galih yang masih berdiri tepat didekat mobil.
Akan tetapi yang menjadi kesalahan Aiyna saat ini, mengapa tidak seperti biasanya ia yang selalu teliti memastikan kembali, jika apa yang dikatakan oleh adiknya itu memanglah benar.
•••
"Aiy, adik kamu dimana?"
Langkah kaki pertama Aiyna memasuki rumah langsung disambut oleh pertanyaan sang Mama, yang kini terlihat berdiri cemas seolah sejak tadi merasakan firasat yang buruk.
"Lho, memangnya Naren belum pulang, Ma?" Aiyna malah balik bertanya, sedikit tak menyangka.
Bukannya tadi Galih bilang, adiknya itu sendiri yang mengatakan, jika sudah lebih dulu dijemput oleh Aksa untuk pulang?
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Roman pour AdolescentsNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...