Aku yang Melankolis dan Jaim
"Aku berpegang pada peringatan-peringatan-Mu, dan aku amat mencintainya."
~Mazmur 119:167***
Minggu pagi agak siangan, aku duduk di atas rumput halaman rumahku memberi makan anjing-anjingku. Si putih, An, dan si merah, Nuan. Jenis anjing Pomenian, kecil dan berbulu mengembang. Dalam bahasa Mandarin, An berarti damai. Lihat saja makannya, tenang dan damai. Tidak seperti Nuan yang lebih aktif, dari tadi nggak bisa diam, terus saja mencuri makanan An padahal bagiannya aku tuang lebih banyak. Tapi Nuan ini ramah kok, seperti namanya. Mereka adalah hadiah kelulusan SMP-ku dari Papa dan Mama.
Sebenarnya aku sudah menginginkan anjing sejak SD, tapi Mama selalu menolak. Mama tidak suka ada binatang yang berseliweran dalam rumah dan merusak bunga-bunga kesayangannya. Tapi Papa adalah sekutuku, dia berhasil membujuk Mama. Jadi dibelikanlah aku An dan Nuan saat lulus SMP, usia yang dianggap sudah bisa diajak bertanggung jawab dalam mengurusi hewan peliharaan. Jadi nggak ngeribetin Mama.
"Jangan sampai anjing-anjing itu mengobrak-abrik taman Mama. Awas aja kalau sampai rusak." Mama yang baru keluar dari rumah langsung mengomel.
"Ingat. Kamu harus tangung jawab." Itu suara Papa, yang kalem dan penuh nasihat, nggak kayak Mama yang judes.
"Iya. Iya," jawabku membandel.
Tiba-tiba saja Mama memakaikan beanie warna kuning ke kepalaku, membuatku menggeliat kesal.
"Diam. Kamu cocok pakai ini. Mecing sama bajumu," kata Mama dengan nada centilnya.
"Mecing apaan? Baju kedodoran gitu," komentar Papa sambil mengeluarkan kunci mobil dari kantongnya.
"Ah, Papa ngerti apa soal fashion."
Dan beginilah aku, mendengus kesal dengan kaus merah bergaris yang over size, dengan celana drawstring, plus beanie kuning di kepala. Aku kalau lagi santai di rumah ya begini, kaus over size yang menurut Papa kedodoran, dan celana drawstring panjang atau pendek.
Sebenarnya aku nggak kurus-kurus amat jika harus dibilang bajuku kedodoran, aku memang sengaja pilih baju over size. Selain emang lagi tren, itu memang nyaman dipakai, menurutku. Berat badanku 57 kilogram, tinggiku 167 centimeter. So, secara fisik aku akui aku nggak terlalu gagah. Tapi aku diberkahi dengan wajah ganteng, hehe... Tapi semua orang menyebutku imut. Begitu pula Mama. Aku nggak pernah suka disebut imut. Terlalu kekanakan.
Aku sudah SMA. Aku lahir di sebuah tanggal di bulan Maret, menjelang akhir sesi zodiak Pisces. Sekarang suaraku mulai membesar. Dada dan pundakku juga mulai mengembang, walau tidak terlalu bidang. Maklumlah, aku ini sudah akil baliq. Satu-satunya hal yang bisa disebut imut dariku adalah kulit bayiku, putih dan sensitif. Ikut Papa dan Mama yang memang berkulit putih, tapi tidak sesensitif kulitku.
Tahun ini Papa umur 43. Jadi maklum, orangnya agak kuno. Papaku Chinese. Bukan impor langsung dari negeri tirai bambu sana, tapi seperti orang Cina di Indonesia kebanyakan. Kakek buyut Papa sudah lama menetap di sini. Jadi aku nggak punya kerabat di negerinya Panda sana. Bahasa Mandarinku pun cuma sebatas, "Zaoshang hao", atau "Xiexie ni", atau "Wo jiao a Kin", atau "Wo ai ni", cuma segitu.
Keseharian Papa, dia sibuk bekerja di kantornya dari pagi sampai sore, sesekali sampai malam. Dia bekerja di biro periklanan. Aku tak tahu persis menjabat sebagai apa, tapi yang pasti sebagai orang penting. Kalau pulang lebih awal atau libur, Papa biasanya diam di rumah sambil baca koran. Kalau bosen pindah ke warung Pak Yanto, ngegerundel bareng bapak-bapak sambil main catur ditemani secangkir kopi hitam. Melokal dan kuno sekali kan, Papaku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Stay With Me
RomanceNamaku Kin Xue Ardiansyah. Si Chindo genius yang kata orang wajahku ini imut. Dan, aku benci sebuatan itu, aku ini ganteng. Aku ingin menceritakan sebuah kisah yang kuharap bisa membuka sudut pandangmu terhadap homoseksual. Aku ingin menghibur dan m...