Cinta Abu-Abu
"I love you more than words can wield the matter, dearer than eyesight, space and liberty."
~William Shakespeare***
Nafasku tertahan.
Ini seperti mimpi buruk dimana kamu tak bisa bernafas walau pun sudah berusaha keras, dan aku sedang mengalaminya di dunia nyata. Aku takut banget. Aku nggak peduli lagi dengan mereka yang sedang berkelahi, walau masih terdengar jelas suara pukulan dan rintihan. Aku terus membuka mulut lebar-lebar, menarik udara ke dalam layaknya ikan yang lompat dari air. Dalam hati aku terus berdoa, dan Tuhan mendengarkan. Detik berikutnya aku berhasil menghirup udara, nafasku kembali berlahan.
"Pergi lo! Awas lo balik lagi! Gue hajar lo tanpa ampun!" suara Refo terdengar begitu jelas di telingaku. Aku hidup! Tuhan masih menyayangiku.
Segera aku bangkit, duduk bersandar ke dinding. Aku masih meremas dadaku, sesak dan takut masih tersisa. Eko dan kawan-kawannya lari tunggang-langgang keluar toilet. Refo terseok-seok menghambiriku, lalu jongkok tepat di depanku yang masih terengah.
"Lo nggak apa?" suara khasnya bergetar cemas.
Aku mendongak. Alis tebalnya masih tegang, sorot matanya menyimpan banyak simpati, dan wajah gantengnya babak belur. Lebam di pelipis kiri, pipi bengkak habis dipukul, dan ujung bibirnya terluka mengeluarkan sedikit darah. Aku yang masih marah, panik dan takut menatapnya nanar. Hatiku rasanya dicabik-cabik melihat Refo terluka di depan mataku dan karena aku.
Emosiku benar-benar jatuh, tubuhku bergetar memandang Refo. Setetes air mata mengalir bebas melalui pipiku yang lebam, membuatnya makin perih. Air mata kedua jatuh tepat sebelum aku menutup mataku dengan telapak tangan. Aku sungguh merasa nggak berguna sebagai laki-laki, aku begitu lemah dan rapuh hingga mudah ditindas, melukai orang yang aku sayang. Aku sama sekali nggak berguna.
Tangisku kian pecah.
Aku kelu. Hatiku remuk. Mengapa aku begitu rapuh? Hatiku selalu rapuh di hadapannya. Selang berapa lama, aku merasakan usapan lembut di punggung. Aku merasa makin lemah dan gagal. Kujatuhkan keningku di bahunya dan terus menangis. Dia masih tak bergeming, membiarkanku menangis di sana.
Kenapa aku menangis? Dihadapannya lagi. Dan, mengapa aku begitu sentimentil karena hanya sebuah pukulan kecil? Aku terlihat lemah dan menyedihkan. Ini sungguh memalukan. Kini aku merasa bodoh dan menyesal begitu rapuh di hadapannya.
Kenapa kau menangis, Kin?
Namun, berada di bahunya membuatku nyaman dan betah. Sangat.
☀☀☀
"Gue antar lo pulang, ya?"
Aku masih bengong berdiri di depan motornya, menatap wajah Refo yang babak belur. Parkiran sudah mulai lengang, menyisakan beberapa murid yang jauh dari kami. Perutku masih sakit karena tinjuan, mukaku terasa bengkak.
"Supir lo masih belum datang," gumam Refo lagi, "Ayo!"
Aku masih setia di tempatku. "Freya gimana? Lo nggak antar dia pulang?"
"Kin... lo mau nungguin supir lo di pinggir jalan kayak waktu itu dengan muka lo yang sekarang? Lagian Freya udah biasa pulang sendiri, gue juga masih diem-dieman sama Freya." Dia memasang helm full face-nya. "Ayo!"
Dia benar. Aku harus segera pulang. Akhirnya aku naik di jok belakang motornya, lalu Refo mengantarku.
Sepanjang jalan kami tak banyak bicara, aku masih berusaha menahan rasa sakitku di perut. Lima belas menit kemudian kami sampai di depan gerbang rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Stay With Me
RomanceNamaku Kin Xue Ardiansyah. Si Chindo genius yang kata orang wajahku ini imut. Dan, aku benci sebuatan itu, aku ini ganteng. Aku ingin menceritakan sebuah kisah yang kuharap bisa membuka sudut pandangmu terhadap homoseksual. Aku ingin menghibur dan m...