Indah Bersamamu
"Sudahkah kukatakan hari ini betapa beruntungnya aku jatuh cinta padamu?"
***
Udara menghangat, wangi lavender bercampur apeknya bantal membelai penciumanku. Perlahan kupicingkan mata, cahaya mulai memenuhi pandangan. Hal pertama yang kulihat adalah alis tegas, hidung mancung, dan bibir penuh dengan warna merah yang menggoda. Karya seni paling indah dari Yang Maha Bisa. Wajah ganteng Refo yang terpejam di atas bantal. Tak lama kemudian, dia juga bangun, hal pertama yang ia lihat hari ini adalah AKU.
Dia tersenyum simpul. Sungguh pagi yang indah.
Refo mengucek mata dan menegakkan tulang belakangnya, lalu melihat ke arahku. "Pulanglah. Lo harus sekolah." Itu kalimat pertamanya. Huh, dia merusak segalanya!
"Lo?" tanyaku simpel.
Dia pura-pura menguap dan merenggangkan otot-otonya, malas menjawab. Aku harus buat dia kembali ke sekolah, bagaimana pun caranya. Aku menarik selimut tipisnya dan menyembunyikan diriku.
"Gue nggak mau masuk, kalo lo juga nggak masuk," jelasku dari dalam selimut.
"Lo emang keras kepala, ya?" Dia menarik selimutku. "Bangun!" Teriaknya karena aku menahan selimut itu. "Huh, anak ini!" Lalu aku merasakan dia turun dari tempat tidur dan berjalan keluar.
Aku masih berkutat dalam selimut.
Kemudian Refo masuk kembali dan melemparkan sesuatu padaku, dari suaranya itu seperti tas dan seragam sekolahku. "Cepet bangun!" Dia menarik selimutku lagi.
Aku menahannya kuat-kuat. "Nggak mau!"
Akhirnya dia menyerah, lalu duduk di sampingku. Untuk beberapa saat dia terdiam. "Gue udah nggak bisa sekolah lagi, Kin." Suaranya terdengar parau. Putus asa.
Aku pun membuka selimutku, menatap wajah sedihnya. "Lo bisa. Jangan nyerah." Lalu dia memandangku. "Gue mohon. Ikut gue. Gue tau ini berat. Gue tau ini sulit. Tapi gue mohon... jangan nyerah, Re."
Dia menghembus nafas panjang. Hening. Tak ada lagi yang terucap.
Tiba-tiba sesuatu melintas dalam pikiranku. Kusibak selimut yang menutupiku, lalu bergegas bangkit dan menyeret Refo keluar.
"Mau kemana?"
"Udah ikut gue."
Kami keluar, menuju taman dekat rumahnya, lalu pergi ke lapangan basket yang di kelilingi pohon cemara itu.
Langit bersih tanpa awan, matahari yang juga baru bangun menyapa kami yang berdiri di garis tengah lapangan.
"Ngapain kita di sini?" tanya Refo terheran.
Aku yang menenteng bola basket milik Refo menatap ring dengan serius seolah yakin dengan apa yang kulakukan. "Ingat obrolan kita tahun lalu di lapangan sekolah? Waktu lo ngajarin gue basket?" lontarku bernostalgia.
Refo menerawang, lalu mengangguk ragu. Mungkin ingatannya akan kenangan itu sudah samar.
"Jujur aja, gue langsung kagum waktu itu. Gue nggak nyangka ada orang yang begitu mengerti basket, seolah basket adalah hidupnya." Aku menghirup udara dalam-dalam. "Basket adalah bagian dari diri lo. Melalui basket kenangan-kenangan dalam hidup lo terekam, jersey dari Bokap kandung lo, Nyokap lo yang nyemangatin saat pertandingan pertama lo kalah, Freya yang senantiasa melihat dan nungguin lo latihan, walau cidera lo kelihatan bahagia. Basket adalah kenangan lo." Aku melesahkan nafas. "Kalau lo berhenti sekolah, semua kenangan itu nggak akan berarti apa-apa. Apa kata fans lo nanti kalau King of three pointer sekolah menghilang gitu aja. Kalau lo ninggalin club basket, nggak akan ada lagi yang tersisa dari hidup lo. Lo nggak lebih dari sekedar pecundang." Aku menoleh menatapnya. "Kalau lo nggak pengin hidup lo hancur... kembalilah ke sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Stay With Me
RomanceNamaku Kin Xue Ardiansyah. Si Chindo genius yang kata orang wajahku ini imut. Dan, aku benci sebuatan itu, aku ini ganteng. Aku ingin menceritakan sebuah kisah yang kuharap bisa membuka sudut pandangmu terhadap homoseksual. Aku ingin menghibur dan m...