Pesawatku baru saja mendarat. Akhirnya, setelah ratusan purnama aku kembali memijakkan kakiku di negeri tercinta, di kota penuh kenangan, Jakarta.
Hal pertama yang kuingat adalah 'dia'. Aroma lavender yang seolah masih membekas di penciumanku, bibir lembutnya yang manis seperti strawberry, dan wajahnya yang bak malaikat. Bagaimana kabarnya, ya? Apa dia masih bermain basket? Apa dia masih mengingatku? Apa dia masih... cinta?
Ah, aku ngelantur. Ini sudah tujuh tahun. Mana mungkin.
Selama itu aku menghilang. Hidup di benua lain, di sebuah kota yang terkenal akan patung kebebasannya. Tapi, aku nggak pernah benar-benar merasa bebas. Hatiku terikat pada kenangan-kenangan dulu, di sini. Berbagai cara sudah kulakukan untuk melupakan kenangan-kenangan itu. Namun, tetap saja aku nggak bisa. Pedih ini masih tertinggal. Setiap hari langit berwarna kelabu, kota besar itu terasa amat sepi bagiku.
Aku nggak pernah menghubungi siapa pun di sana, kecuali orang tuaku. Dan juga, adikku. Yap, sebuah anugerah Mama bisa hamil lagi di usianya yang terbilang nggak muda lagi. Namanya Mei, usianya enam tahun. Dialah alasanku kemari. Ingin ketemu langsung sama kokonya yang ganteng ini di hari Imlek, katanya. Lalu soal Mama dan Papa... mereka masih sayang kok, tapi sudah tak sehangat dulu lagi. Ada kecanggungan yang terselip saat kami mengobrol.
Mungkin itu sebabnya mereka membuat Mei.
"Kokoooo..." gadis kecil itu menyambutku di bandara.
🐾🐾🐾
Aku terperangah, kota ini jauh berbeda dari tujuh tahun lalu. Gedung-gedung semakin merapat dan meninggi, indah dengan segala kerlap-kerlipnya yang memecah gelapnya malam Imlek ini. Entah di bagian sudut Jakarta mana aku sekarang, berkumpul bersama Mei, Mama, dan Papa, di tengah-tengah lautan manusia.
"Tiga..."
"Dua..."
"Satu..."
DUAAARRR!!! Kembang api meledak bersamaan, warna-warni menghiasi langit malam.
"Gong xi fa cai!"
Semua orang bersorak bersuka cita. Mereka berpelukan, dan terompet naga ditiup keras-keras. Doa-doa dan harapan-harapan baru dipanjatkan bersamaan ledakan kembang api yang nggak berhenti dinyalakan.
Aku berharap... Refo baik-baik saja.
Ah, lagi-lagi aku larut dalam perasaanku sendiri. Kepalaku terasa kelu. Kuputuskan untuk menepi, meninggalkan keluargaku yang sedang asyik hendak menerbangkan lampion. Begitu juga semua orang. Kumasuki sebuah taman yang lumayan lengang. Lampion-lampion taman berbagai bentuk dan warna menerangi tempat indah ini, serta lampu kerlap-kerlip terlihat seperti peri-peri kecil yang sedang menari mengelilingi banyak pohon. So beauty!
Langit mulai dipenuhi lampion terbang, berpendar indah bersama ledakan kembang api. Keren banget!
Pembacaku, andai kau di sini pasti sudah terperangah takjub. Pesan terakhirku di malam yang indah ini, tidak ada kebahagiaan yang sempurna sebagai gay. Karena kodratnya laki-laki ya dengan perempuan. Jika masih bisa berubah dan meninggalkan, lebih baik hidup normal. Tapi, semua pilihan tentang hidupmu ada di tanganmu sendiri.
Pembacaku, kau sedang berada di keping terakhir dari ceritaku. Mungkin sejak awal kita sudah punya cara pandang sendiri-sendiri soal homoseksualitas. Dan kini, mungkin cara pandang kita masih tetap berbeda, barang kali.
It's okey, and peace.
Kalau kau memang bukan gay, tolonglah lebih bersikap baik pada kami. Bukan pilihan kami untuk menjadi seseorang yang katanya 'nggak normal'. Kami butuh tempat untuk didengar, dimengerti. Kami butuh dirangkul, bukan dijauhi, apalagi diludahi. Kalau kau memang tidak mengerti kami... kalau kau tidak mau berteman sama kami, it's ok. Tapi, perlakukanlah kami layaknya manusia biasa. 'Normal'.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Stay With Me
RomanceNamaku Kin Xue Ardiansyah. Si Chindo genius yang kata orang wajahku ini imut. Dan, aku benci sebuatan itu, aku ini ganteng. Aku ingin menceritakan sebuah kisah yang kuharap bisa membuka sudut pandangmu terhadap homoseksual. Aku ingin menghibur dan m...