Keping 40

1K 73 0
                                    

Bintang Jatuh

"Aku akan mencintaimu, dan hanya kamu, sampai bintang-bintang terguncang dari langit."
~Rachel Alexander

***

"Ayolah, Ma..." Aku merengek sambil menggendong Nuan.

Mama meletakkan pisau dan wortelnya, menatapku tajam. "Kalau Mama bilang nggak, ya NGGAK! Ini masih pagi, udah tidur sana! Lagian kamu masih kayak gini, mau keluar." Mama mengobel.

Sebenarnya kepalaku masih pening, badanku masih sakit semua. Perban masih menempel di keningku, perih sangat di lubang anusku belum reda, memar di wajahku bahkan masih belum hilang. Malas keluar, tapi di rumah aku tertekan sendiri. Tertekan sudah berbohong, kalau luka-lukaku sepenuhnya adalah kecelakaan motor kemarin. Stres tentang visitasi guru BK yang sudah di depan mata. Sulit membayangkan bagaimana reaksi Mama dan Papa kalau tahu nanti bahwa aku seorang homoseksual, apalagi saat mereka khawatir kayak gini. Karena itu aku ingin keluar, sebentar saja, aku pengin melupakan semuanya. Sebentar saja.

"Aku pergi ajak Pak Yanto kok, Ma... Lagian An dan Nuan sudah waktunya ke dokter. Nuan beberapa hari ini sulit makan," kataku sambil mengelus-elus anjing Pomenian di gendonganku.

"Bawa mereka saat kamu sembuh, sekarang istirahat." Mama bersikukuh.

Aku mendengus kesal. Cemberut meninggalkan dapur. Lalu berlari ke kamar sambil membawa Nuan dan An yang mengikutiku ke atas. Nyaris kubanting pintu kamar, sebal. Kuturunkan Nuan di lantai, dan loncat ke kasur.

Aku mendengus pasrah, teringat kejadian semalam. Di lapangan basket dekat rumahnya, Refo memelukku yang sedang menangis. Raut mukanya sangat khawatir, bajunya basah oleh keringat. Dia amat ketakutan saat melihatku berdarah-darah. Aku tahu, dia ikut terluka melihatku kayak gitu.

Aahhhh... cinta ini sungguh melelahkan.

Tok tok tok!!! Aku bangkit, melihat Papa yang sudah ada di ambang pintu kamarku. Aku turunkan kaki saat Papa masuk dan duduk di tepi kasurku.

"Gimana udah mendingan?" tanya Papa lembut.

Aku hanya mengangguk, menyembunyikan wajahku darinya.

Kulirik sebentar, Papa sedang memandangi isi kamarku, rapi seperti biasa. Wajahnya murung, seri yang selalu kusuka dari Papa meredup. Lalu kembali menatapku yang terus menunduk.

Apa dia tahu, apa yang sedang kupikirkan?

"Kata Mama, kamu mau ke dokter hewan?" tanya Papa melancarkan tujuannya kemari.

Aku sekali lagi mengangguk. "Iya, kasian tuh Nuan nggak enak makan," ucapku sambil menunjuk anjingku yang terkulai di atas karpet.

"Ya udah, tapi jangan lama-lama ya? Pak Yanto bakal ngantar kamu."

Aku langsung semringah. "Bener ya, Pa. Awas aja kalau sampai Mama ngomel lagi," sahutku antusias.

"Biar Papa yang ngurus Mamamu," tukas Papa dengan senyum indahnya.

"Ya udah, minta duit!"

"Kalau itu minta ke Mama, semua uang Papa di Mama."

Aku pura-pura mendengus kesal, membuat Papa gemas dan mengucel rambutku. Sebenarnya, bukan soal aku ingin cari udara segar, atau senang dikasih uang. Tapi, aku butuh kehangatan kayak gini. Bisa ngobrol sama Mama walau ngomel-ngomel. Bisa dekat dengan Papa yang penuh perhatian. Meski hal yang sederhana, tapi ini akan menjadi sesuatu yang paling kurindukan setelah mereka tahu nantinya. Bahwa anaknya ini telah menanggung sesuatu yang sangat mengecewakan di mata mereka.

Aku langsung beranjak, menggendong anjing-anjingku itu.

"Lho, sekarang? Masih pagi gini," sahut Papa heran.

[BL] Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang