Keping 20

1K 80 3
                                    

Black Day

"Hidup ini penuh dengan kesedihan, sampai-sampai kita membiarkan diri kita mencintai orang lain."
~Orson Scott Card

***

Hitam adalah duka. Tanpa keramaian. Tanpa suara yang berirama, menjadi sedih yang mendalam. Hitam adalah pekat. Kelam. Bagaikan gelap tak kunjung terang, membawa ketidakjelasan yang hampa membuat jiwa tersesat. Hitam ada dimana-mana memenuhi setiap sudut ruang. Hitam hadir hari ini.

Rumah Refo ramai oleh para pelayat yang hampir semuanya mengenakan pakaian hitam, berbincang-bincang tanpa tawa yang menggema. Duka menyelimuti rumah kecil ini. Kursi dan meja dikeluarkan, berganti tikar agar dapat menampung lebih banyak orang. Adiknya Refo yang sedari tadi rewel kini mulai tenang digendongan Freya yang dikelilingi Naya, Gatra dan teman-teman sekolah lainnya. Ayah tirinya Refo sedang ada diberanda, berbincang dengan tamu.

Kami baru saja tiba dari pemakaman Ibunya Refo. Tanah masih basah oleh hujan semalam, udara masih lembab saat Ibunya Refo dikebumikan. Aku yang mengenakan kemeja dan jas hitam berdiri di belakang bersama Gatra, menunduk ikut berduka. Sepanjang prosesi Refo sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun, air matanya juga tak jatuh, hanya pandangan kosong yang bisa dilihat darinya. Hampa. Untung ada Freya yang senantiasa menguatkan Refo, menggandeng tangannya dengan erat dan menangis tanpa suara. Saat itu hari benar-benar kelam walau mentari bersinar hangat. Hanya duka yang menyelimuti.

Satu per satu pelayat pun meninggalkan lokasi pemakaman, termasuk Ayah tirinya Refo yang terlihat syok banget, menyisakan Refo yang selalu dalam genggaman Freya. Aku dan Gatra hanya bisa melihat dan menunggu.

Lima menit berlalu, Refo masih mematung menatap pusara merah ibunya. Pandangannya kosong, kakinya terlalu takut untuk melangkah tanpa seorang ibu. Patah hati terbesar adalah kehilangan sosok ibu. Itu benar. Dunianya menjadi gelap seolah dia sudah nggak sanggup lagi untuk berbuat apa-apa. Refo merasa sangat ketakutan, tapi air matanya masih tertahan, untung saja ada Freya yang langsung memeluk pacarnya itu, dia seperti mengatahui ketakutan Refo dan berusaha untuk menjadi cahaya di dunia Refo yang sudah gelap gulita.

Rumah kecil ini telah menjadi rumah duka, para pelayat masih terus berdatangan.

"Mas?" Seorang ibu-ibu menegurku. "Kalau Mas lapar boleh ke dapur, nasinya sudah siap," lanjutnya ramah.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Iya, Bu." Kemudian ibu itu pergi menghampiri tamu yang lain.

Well, aku akui aku memang sedikit lapar, tapi nafsu makanku hilang. Aku yang orang asing saja tak berselera makan apalagi Refo. Benar, Refo... kemana dia pergi? Sedari tadi aku nggak melihatnya.

Aku beranjak ke belakang, Refo tak ada di sana. Aku menuju beranda, Refo juga tak ada di sana. Aku tahu, aku cuma sebatas teman sekelas, tapi aku sangat mengkhawatirkannya. Aku telah belajar bahwa khawatir sering memberi bayangan besar pada hal kecil, tapi itu wajar untuk orang yang kita sayangi.

Hanya satu tempat yang belum aku periksa, dan itu tempat paling masuk akal untuk merenung dan menyendiri. Toko. Aku pergi kesana lewat pintu belakang.

Benar saja, aku menemui Refo sedang duduk diam di bangku panjang sambil menghisap rokoknya yang hampir habis. Wajahnya pucat, tangan satunya terkepal di sampingnya, dan pandangannya lurus melayang. Ruangan ini tanpa jendela dan pintu toko yang tak pernah dibuka membuat udara sedikit pengap, dan hanya cahaya lampu yang menerangi etalase-etalase kosong tak jauh dari Refo duduk. Ruang ini hampa tapi banyak kenangan, seperti hati Refo saat ini.

"Refo." Aku memanggilnya pelan. "Teman-teman sekolah nanyain lo."

Tak ada jawaban.

"Re?"

[BL] Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang