Keping 41

1K 80 1
                                    

Ketika Barani Mengatakan Cinta

"Namun ternyata pada akhirnya tak mungkin bisa kupaksa, restunya tak berpihak pada kita."
~Mahalini - Melawan Restu

***

Bulan menahan langit malam, dan gemintang berpendar indah menyemangatinya. Untuk pertama kali aku ragu masuk ke rumahku sendiri, takut bertemu Mama dan Papa. Aku berdiam diri lama di depan pintu, mengumpulkan keberanian yang rasanya satu persatu terus saja menguap. Kutarik nafas dalam-dalam. Cklekk. Akhirnya kubuka juga pintu itu.

Aku berdiri mematung di hadapan Mama dan Papa yang duduk menatapku tajam di ruang tamu. Sorot mata mereka melucuti keberanianku satu persatu.

"Kamu baik-baik saja, Kin?" tanya Mama memastikan.

Aku mengangguk lemah.

"Ada apa sebenarnya? Jelaskan pada kami," ucap Papa datar, tapi tegas.

Aku melesahkan nafas dan tertunduk. Tidak menjawab pertanyaan itu.

"Ada apa, bilang?!" tekan Papa risau.

Aku dilema.

Mama mengeluarkan ponselnya, meletakkan ponselnya di atas meja, menunjukkannya padaku. Aku tercekat seketika. Di sana menampilkan postingan tentang kejadian di sekolah pagi ini, dan juga foto ciumanku dengan Refo. Perasaanku sekonyong-konyong ikut terseret oleh ketegangan yang makin besar. Aku menatap nanar kedua orangtuaku itu. Mereka punya bukti, nggak bisa dibohongi. Bagaimana pun pada akhirnya mereka pasti tahu, dan lebih baik tahu dariku.

"Apa benar..." Mama berhenti sejenak, takut akan kalimatnya sendiri, "...kamu gay?"

Dadaku sesak. Mataku makin perih. Ya Tuhan, apa aku harus menghadapi ini?

Air mataku jatuh bersamaan dengan lututku yang bersimpuh. Bibirku bergetar dan berkata, "Maaf, Ma, Pa... Maaf... Itu benar." Aku terus menunduk dalam tangisku, tak mampu melihat ekpresi kecewa mereka. "Aku seorang homoseksual," tambahku dengan terisak.

Mama tercekat lirih. Lalu Papa menggebrak meja dengan keras. BRAAAKKK!!! Aku makin ciut dan takut.

"Kamu sadar apa yang kamu katakan?! HAH??!!!" Papa teriak penuh kekecewaan.

Mama sudah menangis tersedu-sedu. "Ini nggak lucu, Kin. Katakan yang sebenarnya..." ucap Mama, berharap bahwa omonganku tadi hanyalah candaan.

Aku lunglai di lantai, mendekap dan meremas celana pendekku, menahan ketakutan yang begitu perih mencabik-cabik batinku.

"Maaf, Ma... Maafin, Kin, Pa..." Air mata tumpah tanpa suara.

"Ngomong apa kamu ini?!" Papa bangkit dan berteriak lagi. Wajahnya merah padam menahan amarah dan kekecewaan besar. "Kenapa kamu seperti ini? Salah apa Papa sama Mama, Kin? Kami membesarkanmu dengan baik. Dan, kamu malah bikin malu. Keterlaluan kamu ini, Kin. Tega kamu sama Papa!"

Aku tak pernah melihat Papa semarah ini. Aku adalah sebuah kekecewaan besar. Aib keluarga.

"Maaf, Pa..." Hanya meminta maaf yang bisa aku lakukan sekarang.

"Ini salah, Kin. Kamu nggak boleh seperti ini!" Suara Papa yang tadi keras melirih. Air mata menggantung di sudut pelupuknya. "Papa kecewa sama kamu, Kin."

Aku kehilangan kata-kata. Meringkuk di lantai yang dingin. Dadaku gemetar. Dayaku rasanya sirna semua, aku seperti mau kehilangan kesadaran.

"Lihat Papa, Kin," ucap Papa yang sudah berdiri di hadapanku, "Apa dia pacarmu?" tanyanya menunjuk HP Mama yang masih menyala menampilkan adegan ciumanku dan Refo.

[BL] Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang