Keping 35

979 84 4
                                    

Si Pecundang

"It really hurts when you expected so much more from the person you once loved so much."
~Anonymous

***

Aku terbangun bersamaan dengan sang fajar. Terbaring, mata menatap langit-langit. Ini adalah hari libur pertamaku. Namun, aku mau balik tidur untuk menghindari jalannya pikiran yang gundah, tapi... mataku susah buat kupejam lagi. Benakku langsung mengawang pada kejadian kemarin. Soal Refo. Desahan. Decitan ranjang itu... perasaan yang dipenuhi kegagalan. Mencintai dengan begitu susah payah tapi semuanya gagal total.

Semua itu karena aku cowok yang jatuh cinta sama cowok. Aku tak bisa berhenti mencintainya. Refo... membayangkannya saja susah. Sebenarnya, apa yang aku harapkan selama ini hingga aku terpuruk begini? Hidup penuh cinta dengan Refo? Melawan takdir?

Hhhh... Ternyata ada beberapa hal yang jatuh diluar kuasaku. Ada beberapa hal yang tidak bisa kukendalikan, dan hati Refo bukanlah rumus Matematika yang bisa dengan mudah kupecahkan. Bukan teori Fisika yang bisa kutelusuri atau kuciptakan atas nama sendiri. Marah kepada garis cinta yang mempertemukan kami tanpa ada penyatuan.

Sinar mentari membentang. Hari membuka lembarannya. Angin membawa kebisingan. Dan, aku tetap bergumul dengan selimut.

Dok, dok, dok! Pintu kamar diketuk. Gagang pintu bergerak, namun pintu itu terkunci. "Masih bobo, Kin?" suara Papa dari balik pintu. "Papa mau keluar sebentar. Mamamu ke rumah Bu RT bantuin beres-beres setelah hajatan kemarin. Kalau lapar minta ke Mbok Sur," jelasnya penuh perhatian.

Aku tetap nggak bergeming. Enggan untuk menyibak selimut, bahkan. Lalu suara Papa sudah tak terdengar lagi.

Jam terus berputar. Perutku sudah kenyang makan hati.

Ddrrrrr...!!! Suara knalpot motor yang amat kukenal terdengar memasuki halaman rumahku. Akhirnya aku bangkit, mengintip dari balik gorden siapa yang datang. Dia membuka helm full face-nya, lalu mendongak ke kamarku. Buru-buru kututup kembali gorden itu. Mengintipnya dari sela terkecil.

Benar, itu Refo.

Langsung kusambar raportnya, dan berlari turun.

"Mbookkk...!!!" seruku ke Mbok Sur yang mau membukakan pintu. Aku memberinya raport bersampul biru itu, lalu bilang, "Mbok Sur, tolong bilangin ke dia kalau aku sedang berlibur... di Cina," terangku dengan cepat. Ngasal. "Pokoknya bilangin aja aku nggak ada di rumah."

Aku kembali lagi ke atas. Mengintip dari pinggir jendela besarku apa yang terjadi di bawah sana.

Mbok Sur keluar dari rumah, menyampaikan beberapa hal, lalu menyerahkan raport milik Refo. Mereka berbincang sebentar. Adegan ranjangnya sama Freya seolah diputar lagi di kepalaku, seperti jarum yang menyumbat saluran nafasku. Marah. Kecewa. Sakit. Begitulah saat aku memandangnya. Refo mendongak lagi ke kamarku. Wajahnya kebingungan. Lalu dia terlihat merogoh saku jaket denimnya, mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.

Tuuttt tuuuttt tuuuutttt... ponselku berbunyi. Refo memanggil. Kuintip lagi ke bawah, tak menghiraukan panggilannya. Ponselku berdirung tiga kali, dan nggak pernah kusentuh. Akhirnya dia mengetik sesuatu di ponselnya dan pergi.

Aku kembali termenung. Benar-benar tak menduga kalau hubungannya dan Freya sudah sejauh itu. Aku kira belakangan ini sedang tidak baik-baik saja. Refo bilang sudah tak mencintai Freya lagi. Lalu mengapa ia berani melakukan hal itu? Apa aku salah mengartikan lagi? Sungguh, memikirkannya saja membuatku sakit kepala.

Aku kembali ke atas kasur. Termenung beberapa menit. Aku sama sekali tidak bisa menyelesaikan teka-tekinya. Kuraih HP-ku, kulihat pesan Refo yang dia kirimkan tadi.

[BL] Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang