Keping 39

977 65 3
                                    

Aku Menyerah

"Hidup adalah buku dan pena. Hitam, coretan-coretan dosa. Putih, catatan pahala. Setelah kau tiada, kelak buku akan dibuka, dibaca di alam baka."
~Unknown

***

Aku terseok-seok menyusuri lorong koridor kelas, layaknya zombi yang tak punya jiwa. Pandanganku mengambang tanpa arah. Aku nggak pengin ada di sini.

Bukk! Seseorang menabrakku. Seragamnya masih putih biru, murid baru, pikirku.

"Maaf, Kak. Nggak sengaja. Maaf!" pintanya sambil menunduk-nundukkan kepala.

Aku mengengguk lemah, menyuruhnya pergi. Aku terlalu lelah untuk marah, bahkan. Aku melirik gitar yang ditentengnya sebelum dia pergi. Tertulis namanya disana: Arfan. Hmm... Benar, hari ini adalah hari terakhir orientasi siswa baru. Akan dilakukan demo ekskul hari ini. Akan ada musik, tarian, dan pertunjukan dari masing-masing ekskul. Aku jadi bertanya-tanya, apakah Refo akan tampil dengan bola basket kesayangannya?

Ah, sudahlah. Aku sudah mengucapkan selamat tinggal.

Aku menaiki tangga, masuk ke kelas, dan tidur di sana. Hingga sebuah suara membangunkanku...

"Kin..."

Aku bangkit. Leherku terasa kram. Jujur saja, semalam aku nggak bisa tidur. Suara musik dari halaman sekolah terdengar samar. Aku mengucek mata, memandang orang di depanku.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya lembut.

Aku mengangguk lemah pada wali kelasku itu. "Nggak apa-apa, Bu."

Kami saling menatap lama.

"Nak... kamu nggak mau ngomong sesuatu?" ucap guru itu akhirnya.

Aku menghela nafas tertahan. "Apa kalau aku bersujud dan memohon, visitasi itu akan dibatalkan?" tanyaku mengambang.

"Maaf, Nak. Tapi, kami sepakat untuk melanjutkan visitasi itu. Sore ini saya dan guru-guru BK akan bicara sama kepala sekolah. Beliau harus tahu berita ini. Setelah itu baru kami akan memanggil orangtuamu."

Aku terperangah. Mereka sudah akan membicarakan ini kepada kepala sekolah? Apa menurut mereka masalah ini benar-benar hina dan kotor? Kalau sudah begini, aku nggak bisa apa-apa. Wali kelasku adalah harapanku satu-satunya, dan beliau mengecewakanku. Berdoa saja supaya kepala sekolah mau membatalkan visitasi sialan itu.

Aku membeku. Guru itu mengatakan sesuatu, tapi aku tak lagi menghiraukannya. Aku terlalu lelah menghadapi kenyataan pahit ini. Hingga ia menghilang dari pandanganku.

Aku tetap ditempatku. Tercenung menatap meja kosong di depanku. Aku seperti menunggu bom atom yang siap menghancurkan keluargaku yang amat aku sayangi. Dunia yang kumiliki akan berubah gelap sepenuhnya.

Kriiiinggg!!! Bel pulang berdering nyaring. Teman-teman sekelasku berlalu begitu saja. Pandangan jijik itu masih berlaku padaku. Hingga kelas sunyi senyap, aku tetap termenung di kursiku.

Kutarik nafas dalam-dalam, kukumpulkan semua kekuatan yang masih tersisa. Aku bangkit dan pulang.

Kususuri jalan menuju rumahku, entah apa aku bisa melakukan ini setelah Mama dan Papa tahu siapa anaknya yang sebenarnya. Yang tak lebih dan tak bukan hanyalah aib keluarga. Sungguh aku tak pantas menjadi anak mereka.

Pikiranku kembali kalut saat menunggu lampu merah. Hingga sebuah suara menyadarkanku.

"Kin?"

Aku menoleh ke pengendara di sebelahku yang juga berhenti menunggu lampu hijau kembali. Dia adalah teman sebangkuku di kelas XI, yap, dia si wibu mesum, behelnya sudah di lepas. Dia tersenyum lembut padaku, senyum yang tak pernah ia tunjukkan selama ini walau kami sebangku selama setahun penuh.

"Jangan menyerah, Kin. Lo adalah orang paling pintar dan paling kuat yang pernah gue temui. Lo bisa melalui ini," ucapnya lembut diakhiri senyuman menenangkan.

Aku terperangah, tak menduga dia punya sisi lembut seperti ini. Benar kata pepatah, 'don't judge a book by it's cover'. Kini aku sangat merasa bersalah karena bersikap kasar padanya selama ini. Ternyata dia orang baik.

Lampu menghijau. Kubelokkan vespaku ke gang kecil, lima ratus meter setelahnya aku lewat gang sepi nan sempit. Sebelah kiri ada pagar besi menyembunyikan pembanguan di dalamnya, sisi kanan ada tembok tinggi, batas perumahan. Ini jalan pintas yang nggak banyak orang tahu, aku menggunakan jalan ini sejak naik motor ke sekolah. Aku jadi overthinking, mendadak ragu untuk pulang ke rumah.

"Woooiii...!!! Berhenti!!!"

Kulirik kaca spion, itu Eko dan gerombolannya. Mereka sudah tak lagi memakai seragam sekolah, dan terus teriak menyuruhku berhenti. Apa lagi yang mereka inginkan? Batinku. Kutambah kecepatan, dan mereka terus mengejarku.

"Banciiii!!!"

"Berhenti looo!!!"

Mereka semakin dekat. Terus kutambah kecepatan, hingga...

Bruuaaakkkkk...!!! Piaarrr...!!! Gubraakk!!!

Aku terpental dan terguling di jalan, tubuhku menggores kerasnya jalan. Kepalaku berdengung dalam helm, pusing merasakan benturan keras. Tiba-tiba saja motorku sudah ringset lima meter dariku.

Aku tak bisa bergerak.

Suara rem ban dan tapak kaki mendekat begitu pendengaranku pulih. Beberapa tangan mencengkram lenganku, membalikkan tubuhku yang tengkurap, lalu menyeretku ke dinding. Perih di persendianku makin terasa. Dengan paksa mereka melepas helmku, tak peduli kepalaku yang masih puyeng. Pandanganku segera menerang. Hal pertama yang kulihat adalah wajah marah Eko, lalu Motu dan Rendi ada di belakangnya, serta Ali dan Fajar yang mencengkram lenganku dengan erat.

"Urusan kita belum selesai... Lo bakal mati hari ini, banci!" kata Eko mengancam.

Tubuhku sakit semua, tak sanggup membebaskan diri. Tapi, aku tetap berusaha memberontak.

"Gara-gara lo sama pacar homo lo itu, gue diberi surat peringatan. Poin pelanggaran gue sudah hampir sampai batas. Gue kena masalah besar di rumah gara-gara lo!" seru Eko berapi-api.

Aku memandangnya sinis. Menggeram marah. "Lo pantas mendapatkannya. Cuihh!" Kuludahi dia dengan kesal.

Raut mukanya makin merah dan menegang. Giginya bergeretak. Bukk! Satu pukulan dilayangkan di pelipisku.

"Kurang ajar lo!"

Bukk! Pukulan kedua tepat dirahangku, membuatku meludah darah. Pukulan ketiga dan keempat diperutku. Aku jatuh tersungkur, Ali dan fajar tak perlu repot-repot lagi memegangiku.

Lalu dalam sekejap tendangan bertubi-tubi menghujani tubuhku yang tak berdaya. Aku meringkuk, kulindungi wajah dengan sikuku. Mereka terus menginjak dan menendangi tubuhku.

Setelah itu, mereka kembali mencengkram lenganku, melemparku ke dinding hingga kepalaku membentur. Sakit luar biasa dan peningnya bukan main, kurasakan cairan kental hangat mengalir di keningku. Mereka makin bersemangat mendengar rintihan dan erangan kesakitanku. Mereka lalu melucuti tasku. Membuka paksa ikat pinggang dan menurunkan celana serta underwear-ku.

Aku ketakutan setengah mati.

"Lo emang sampah!"

"Homo sialan!"

"Bencong!"

"Anjing!"

Segala sumpah serapah mereka lafalkan seperti mantra yang seolah membuat mereka lebih kuat. Pening di kepalaku membuat pandanganku mengabur. Tubuh ini kalau tidak dipegangi sudah sedari tadi jatuh.

"Tunggu! Tunggu! Tunggu!!! Eko, lo serius!" suara Ali terdengar bergetar.

"Diam lo, bangsat! Ini banci harus dikasih pelajaran. Lagian dia kan suka ini!" teriak Eko diakhiri tawa jahatnya.

Sedetik menjadi senyap. Dan...

"Aaaggggghhhh...!!!"

Sebuah benda yang terasa seperti kayu merobek lubang anusku. Sakitnya amat sangat perih. Aku menangis, berteriak, menggelinjang kayak orang gila. Namun, mereka tak menghentikannya. Aku terus menjerit, dan mereka menyumpal mulutku dengan sepatuku.

Sakitnya benar-benar membuatku ingin mati.

💧💧💧

[BL] Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang