Keping 22

985 80 4
                                    

Disappiear

"Jangan beri aku teka-teki, karena aku tak bisa menerka apa yang akan terjadi."

***

"Kiiiiiinnn..."

Freya tiba-tiba muncul dan menghambur padaku. Aku yang sedang memberi makan An dan Nuan di beranda rumah tersentak saat dia memelukku tiba-tiba dengan linangan air mata.

"Fre, lo kenapa?" tanyaku lembut sambil mengelus punggungnya. Dia tak menggubrisku. Terus menangis dan memelukku lebih erat. "Fre... ada apa?"

Freya sesenggukan. "Refo, Kin. Refo..."

Entah sudah berapa hari Refo nggak masuk sekolah, mungkin sudah lebih dari seminggu. Entahlah, aku juga tak menghitung hari. Refo masih syok atas kepergian ibunya yang mendadak. Dan, semua orang juga pihak sekolah memaklumi itu.

"Tenang, Fre." Aku mendudukkan Freya di kursi kayu.

Anjing-anjingku masih asik makan tak mempedulikan kami yang gemetaran.

"Ada apa sih, Fre?" Aku bertanya untuk ke tiga kalinya. Aku mengelus-elus rambutnya, kebingungan. Aku tidak tahu cara menenangkan orang yang sedang menangis histeris, aku lebih memilih mengelus dan memeluknya. Dan, selama ini itu ampuh untuk Freya.

"Refo." Samar-samar aku mendengarnya berkata di tangisnya. Dia terus mengulang-ulang nama itu sambil terisak. Aku mendiamkannya, terus mengelus rambutnya, hingga ia lebih tenang dan siap bercerita.

"Refo..." dia bersuara jelas saat lebih tenang. "Dia... mutusin gue."

HAH?! Untuk satu detik, nafasku tertahan, darahku berhenti mengalir, lidahku kaku, pikiranku menjadi buram. "Apa?" cuma itu yang bisa terucap.

Freya membasuh air matanya yang masih terus mengalir di pipi. "Tadi pagi gue ke rumahnya, gue bahkan belum masuk, masih berdiri di beranda." Suara Freya kembali bergetar. "Dia bilang, gue nggak perlu lagi datang ke rumahnya... Dia bilang, gue nggak perlu lagi peduli padanya... Dia ingin mengakhiri semuanya. Dan, dia sudah melakukannya... Kami sudah berakhir." Tangisnya kembali menjadi-jadi. Aku kembali merengkuhnya.

"Gue salah apa, Kin?" Freya nggak mampu menyembunyikan nada terluka dari pertanyaan itu. Benar. Jika sebuah hubungan berubah... bukankah berarti ada sesuatu yang salah dalam hubungan itu? Salahnya apa?

Aku juga ingin tahu.

"Tenanglah. Refo mungkin cuma tertekan dengan apa yang menimpanya. Dia akan kembali ke lo. Bukankah selalu begitu?" ujarku lembut sembari terus mengelus rambutnya.

Jujur. Aku bingung. Nggak ngerti sama sekali. Gelap. Kenapa Refo mutusin Freya? Secara cuma dia orang yang masih sayang padanya, dia satu-satunya orang yang ada untuknya saat ini. Dia nggak pengin sendirian, lalu mengapa ia mengusir Freya? Ada apa dengannya? Apa dia baik-baik aja? Aku jadi khawatir.

✴✴✴

Hari ini Refo masih saja absen. Dan, sepanjang hari ini Freya terus aja murung. Terkadang aku berharap dapat membaca hati orang. Melongok ke dalam sanubari mereka, membaca apa yang tertulus di sana. Menghirup dalam-dalam kegundahan mereka, mengecap asa yang tak pernah terucap, dan menggali setiap alasan akan kerisauan mereka.

Sepulang sekolah aku memutuskan untuk pergi ke rumah Refo, mempertanyakan mengapa ia sampai mutusin Freya di tengah dukanya. Atau mungkin, aku yang khawatir akan keadaannya.

Sore itu mendung, seperti biasa. Gerimis mulai jatuh saat aku sampai di rumah Refo. Tokonya tutup seperti sebelum-sebelumnya. Aku berjalan ke samping toko. Ada yang aneh, bendera kuning di pojok pagar sudah dilepas. Mungkin sudah waktunya dilepas, batinku. Tak ada lagi motor pelayat yang terparkir. Lebih anehnya lagi, pintu rumah itu tertutup rapat, dan kursi rotan di beranda itu hilang.

[BL] Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang