Seminggu kemudian.
Berada di tengah keramaian membuat dua orang yang tengah saling berusaha membuka hati itu tidak terlihat. Keduanya memilih duduk di salah satu angkringan untuk mengisi perut mereka.
Geby tengah santai memakan sate telur puyuh yang ada di depannya. Sedangkan Gevan hanya meminum kopi sebab ia sudah makan sebelum berangkat tadi.
Anak rambut Geby yang melambai di depan matanya seakan minta di benarkan itu mengundang tangan kanan Gevan untuk menyelipkannya di antara telinga.
Geby terkejut namun semenit kemudian ia tersenyum.
"Lain kali bawa ikat rambut,"
Geby hanya mengangguk tanpa mengucap kata. Mulutnya penuh di isi oleh makanan.
Geby kembali sibuk dengan makanannya. Gevan nampak tenang dengan ponsel yang ada di tangannya.
Napas Gevan terelah membuat perhatian Geby pada makanan teralihkan. Geby memperhatikan Gevan dalam diam. Gevan menoleh kemudian tersenyum dengan menunjukan ponselnya pada Geby.
"Abang. Minta di beliin bintang kalo pulang." katanya takut Geby salah paham.
"Itu ada alkoholnya, kan?" tanya Geby di angguki Gevan.
"Ga bahaya?"
"Dia ga bisa kerja kalo ga minum minuman itu. Setiap gue keluar selalu nitip itu," jelasnya.
"Kalo lo ga keluar?"
"Beli sendiri." balas Gevan.
Dua tahun lalu.
Diandra, Selina dan Kinan sedang berada di gramedia dengan tujuan mencari buku dan beberapa perlengkapan sekolah yang di butuhkan.
Diandra dan Kinan memilih berada di rak buku bagian novel karena buku yang mereka cari sudah di temukan. Sedangkan Sintiya ada di bagian pulpen.
Dua puluh menit kemudian mereka bertiga baru keluar dari gramedia dengan kantung plastik yang ada di tangan mereka masing-masing.
"Mau langsung pulang?" tanya Kinan pada kedua temannya.
Sintiya dan Diandra saling pandang kemudian mengangguk.
"Iya. Gue udah pesen ojek, kok." kata Sintiya.
"Gue nebeng lo, ya, Nan." ucapnya pada Kinan yang membawa motor. Kinan mengangguk mengiyakan keinginan temannya.
Ketiga remaja dengan pakaian main itu berdiri di depan pintu masuk mall. Sintiya celingak-celinguk mencari ojek pesanannya namun belum terlihat.
Tidak lama Sintiya mendapatkan pesan.
"Ojek gue ada di sebrang," katanya memberitau.
"Mana?" Diandra bertanya karena ia tidak melihatnya.
Sintiya menunjuk salah satu ojek online yang ada di sebrang mall.
"Oh, iya, lihat." Kinan berseru.
"Hati-hati. Mobilnya gede-gede banget itu."
Sintiya tertawa. "Iya, Yan. Buseh. Di kira gue bocah kali, ya." tangan Sintiya mengambil kantung belanjaannya yang sebelumnya di letakkan di lantai.
"Duluan, ya... Bye!" tangannya melambai-lambai lalu menatap jalan dengan serius.
Diandra menatap Kinan. "Nan, temenin, yuk. Takut kenapa-napa." khawatir Diandra.
"Ya ellah. Di sit- Dian! Woy! Tunggu!" Kinan berlari mengikuti Diandra yang tiba-tiba berlari membuat Kinan kaget. Gadis berkuncir kuda itu bersih keras untuk mengantarkan Sintiya menyebrang.
"Biar gue temenin-"
"Kita temenin!" sambung Kinan tiba-tiba dengan napas yang naik turun kelelahan berlari dari pintu mall sampai jalan.
Sintiya tertawa geli melihat tingkah kedua temannya. Ia tidak habis pikir dengan perlakuan Diandra dan Kinan.
"Gue sendiri aja." keukehnya. "Duluan. Bye!" lanjutnya.
Sintiya mulai jalan dengan hati-hati. Diandra memperhatikan dengan seksama keadaan jalan. Tiba-tiba mata Diandra melotot ketika melihat sebuah mobil besar melaju dengan kecapatan kencang.
"SINTIYA! AWAS!"
BRAKK!
Sintiya terpental ke pinggir sedangkan Diandra berada di tengah-tengah dengan darah di mana-mana dan keadaan tidak sadar. Kinan histeris. Melupakan buku yang baru saja ia beli, Kinan lari sekencang-kencabgnya memasuki kerumunan orang yang ingin menolong Diandra.
Dan dari sini lah Kinan mulai membenci Sintiya dan menjauh dari Diandra. Namun rasa perdulinya kerap muncul ketika melihat Diandra bersedih.
Sintiya hanya di rawat dua hari di rumah sakit dengan luka kecil di keningnya. Sementara Diandra, di nyatakan koma tiga hari paska perawatan intensif.
Satu setengah tahun lalu
Lapangan sekolah ramai. Ada satu siswa yang berdiri di tengah-tengah dengan setangkai bunga bawar di tangan kanan dan satu permen loli di tangan kiri.
Sekitar lapangan sudah mulai penuh di isi oleh teman-teman sekelasnya bahkan kelas lain. Mereka penasaran dengan tujuan siswa kelas sepuluh di tengah sana.
Tiba-tiba, kerumunan di belah oleh dua gadis dengan salah satunya adalah Diandra. Diandra di bawa ke tengah lapangan berhadapan dengan Wijaya.
Wijaya tersenyum sedangkan Diandra bingung.
"Diandra-"
"Ini apaan sih, Jay? Gue lagi ngerjain soal olim." katanya tidak suka.
Wijaya tersenyum. Bibirnya di basahi dan otaknya mulai merangkai kata-kata yang bagus.
Wijaya berdehem. "Dian. Dengan keberanian yang udah gue kumpulin dan tekat yang gue satukan dengan niat, mau kah lo menjadi pacar gue?" menjeda memberi senyum. "Jika mau tolong ambil bunganya tapi kalo ga mau, boleh ambil permen. Tapi, gue berharap lo ambil bunga, sih."
Diandra bendesah pelan. Rambutnya yang di gerai ia guyar kebelakang. Tangannya perlahan mengambil permen yang ada di tangan kiri Wijaya dan sontak membuat semua yang menyaksikan terdiam.
"Maaf. Gue belum di izinin pacaran." jujurnya. Kemudian gadis itu berbalik badan dan melangkah menjahui Wijaya. Di ujung jalan, ia memberikan permen yang tadi di ambilnya pada Selina yang tengah terdiam.
Dan dari situlah, seorang Selina menyimpan dendam pada Diandra.
Povera Ragazza
Hai!
Cerita ini akan di buatkan Series ke-2 tapi bukan dalam waktu dekat, ya.
Soon, setelah cerita ini akan ada cerita dari salah satu anak Abila. Tungguin ya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Povera Ragazza [Selesai]
Teen FictionSeries # 8 Diandra Larasati *** Hari ulang tahunnya terasa berbeda dari tahun biasanya. Ulang tahunnya yang ke delapan belas seakan menjadi dunia baru untuk Diandra. *** Belum genap usia delapan belas tahun, Diandra di paksa tinggal sendiri oleh s...