Keesokkan harinya. Sesuai apa yang di katakan Oleh Arga kemarin. Abila datang seorang diri di pukul satu siang. Kini kedua wanita berbeda umur itu sedang berada di sofa ruang TV. Arga masih di sekolah karena ini belum waktunya pulang sekolah.
"Kenapa ga sekolah lagi?" Abila bertanya dengan santai tanpa amarah sedikit pun. Jangan heran, bukan karena tidak sayang, tapi Abila memang memiliki sifat yang baik sejak dulu.
"Belum mood, Tan." jawab Diandra seadanya dan sejujurnya.
Abila terkekeh. Meminum secangkir teh yang di buatkan Diandra tadi. Abila memperhatikan keponakannya yang tengah diam dengan tatapan kosong. Beban di pundak Diandra begitu banyak. Abila sebenarnya bisa saja membantu semua, tapi ia tidak mau terlalu ikut campur dengan urusan anak remaja.
"Ada yang kamu fikirkan?"
Pertanyaan Abila sontak membuat Diandra menatap ibu dua anak itu. Dengan senyum yang meyakinkan Diandra menggeleng.
"Mau Tante kasih tau beberapa hal, ga?"
"Apa itu?" balasnya lemas.
Abila tersenyum. Meletakkan cangkirnya di atas meja kembali lalu membenarkan posisi duduk agar lebih nyaman.
"Apa kamu mengalami hal janggal dalam hidup selama beberapa bulan terakhir?"
Diandra mengangguk. Banyak. Bahkan sangat.
"Apa saja?"
"Pertama, bagaimana Tante tau kalau hari itu Diandra ada di roftop sekolah. Kata teman-teman Dian, mereka tau dari Tante." sepertinya Diandra membahas tentang kejadian beberapa saat lalu ketika ia di jebak oleh Arga.
Abila mengangguk-angguk. Memang selama sejarah hidupnya, apa hal yang tidak ia ketahui? Jelas tidak ada. Semua ia tau. Terkecuali kematian.
"Tante siapkan satu bodyguard yang jaga kamu dua puluh empat jam. Tapi dari jarak tiga meter dan tentu Tante melarang orang itu untuk membantumu. Tante hanya menugaskan ia untuk mengawasi, sisanya urusan Tante."
"Tante siapkan bodyguard? Apa itu tidak keterlaluan, Tan?" keberatan?sedikit.
"Apa Tante bisa percaya pada kamu? Sepertinya tidak. Kamu akan banyak berbohong jika Tante tanya. Lagipun orang itu sudah Tante tugaskan memantaumu sejak umurmu sepuluh tahun."
Diandra menghela. Bagaimana bisa marah jika tujuannya begitu baik.
"Baiklah, Tan. Apa ada kebenaran lagi yang aku ga tau?" tanya Diandra penasaran. Jujur saja, ia sedikit banyak menaruh harapan pada Abila. Karena sejatihnya Diandra tau dan paham siapa tantenya di luar sana. Tantenya itu pengusahan sukses yang sudah di akui oleh asia. Tantenya juga selalu memiliki orang kepercayaan, intel, dan lainnya.
"Teror?"
Terdiam sesaat. Diandra yakin dan sangat yakin jika tantenya tidak sekedar bertanya. Pasti tantenya tau tentang teror yang meresahkan itu.
"Teror apa ya, Tan?" gelit Diandra. Abila tersenyum. Mau sebergelit seperti apapun, di mata Abila itu tidak berpengaruh sama sekali.
"Tante tau semuanya, Dian. Tante juga tau orang dan tujuannya. Tapi, Tante akan kasih tau namanya saja, biar kamu selesaikan masalah peneroran dengan orangnya langsung."
"Tante. Siapa orangnya? Siapa yang melakukan itu? Kenapa dia kaya gitu sama Dian, Tan?" desak Diandra. Wajar ia menggebu. Bagimana tidak menggebu jika ketenangannya terganggu.
"Tante kirimkan fotonya besok pagi. Tante tau kamu. Pasti kamu akan hilang kendali jika Tante beritahu sekarang. Tahan hingga besok, ya?"
Dengan terpaksa Diandra menuruti ucapan tantenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Povera Ragazza [Selesai]
Ficção AdolescenteSeries # 8 Diandra Larasati *** Hari ulang tahunnya terasa berbeda dari tahun biasanya. Ulang tahunnya yang ke delapan belas seakan menjadi dunia baru untuk Diandra. *** Belum genap usia delapan belas tahun, Diandra di paksa tinggal sendiri oleh s...