Pintu di kunci dengan rapat setelah memasukan semua belanjaan yang ia beli tadi bersama kekek dan neneknya. Beruntung sekali semua bahan masakkan dan keperluan yang lainnya di belikan kakeknya. Jika tidak mungkin uang yang tersisa di ATMnya sudah habis bahkan ia harus mengutang.
Setelah semuanya di bawa ke dapur Diandra mulai merapihkan satu persatu sesuai tempat yang sudah ia tentukan. Ada beberapa makanan ringan yang tadi neneknya ambilkan untuknya, itu bisa menjadi sebuah cemilan untuknya kala bosan.
Gadis itu menggerakan tubuhnya sampai bunyi. Berbelanja membuat seluruh tubuhnya pegal. Diandra memasukan beberapa susu cair ke dalam kulkas lalu berjalan menuju toilet yang ada di dekat dapur.
Di dalam toilet ia hanya membasuh wajahnya lalu keluar. Kakinya melangkah menuju kamar untuk mandi. Sudah malam dan waktunya ia untuk belajar demi mendapatkan nilai yang memuaskan untuk ayahnya.
Di sisi lain, di sebuah tempat yang lebih bisa di katakan markas itu nampak ramai dengan banyaknya orang dengan berbagai aktivitas mereka.
Salah satu dari mereka ada Cakra yang tengah duduk bersandar pada dinding dan mata yang terpejam. Di sisi kiri dan kanannya ada remaja seumuran dengannya yang tengah asik dengan ponsel mode miring.
Markas ini terlihat gelap karena bangunannya minim cendela.
Cakra membuka mata ketika merasakan telinganya sudah tidak sanggup lagi menahan bisingnya suara teman-temannya. Ia duduk tegak dengan mata yang tajam.
"Kenapa lo?" tanya teman di sebelah kirinya yang masih serius dengan ponsel.
"Woy! Volume mulut lo pada kecilin! Bos keganggu!" teriak Satria teman yang lainnya.
"Bos! Boleh minta rokok lo, ga?" teriak seseorang dari pojok markas.
Helaan napas kasar Cakra keluarkan setelah mendengar pertanyaan itu. Ia terpaksa mengangguk karena ngantuk yang menyerang begitu dominan.
"Napasnya kek mau bunuh orang, sial!" di letakan ponselnya karena sesi mainnya dengan Satria sudah habis. Baihaqi mengambil kopinya, meneguk habis sampai tidak tersisa.
"Untung yang lo minum kopi tanpa ampas, Bai,"
"Emang kalo yang ada ampasnya kenapa?" Baihaqi bertanya pada Satria.
"Ya, gapapa."
"Dih, ga jelas bangsat!"
"Ga usah ngegas, dong!"
"Yaudah, maaf!" Baihaqi mengalah.
Perdebatan tidak penting ini harus segera di akhiri sebelum Cakra marah dan merusak segala yang ada di dalam markas.
Cakra beranjak dari duduknya. Ia melangkah begitu saja membuat Satria dan Baihaqi menatap bingung.
"Kek anjing lama-lama tuh orang!" kesal Satria.
Baihaqi terkekeh, "Ya, di maklum aja. Namanya juga lagi banyak beban."
Ragazza
Di depannya ada sebuah sweeter berwarna lilac pemberian dari Cakra. Saat ini ia sedang membuka kado pemberian pacar dan juga dua temannya. Selina memberikannya sebuah lukisan dengan objek dirinya sedangkan Sintiya memberikan sebuah piyama dengan wajah dirinya sebagai motif.
Setelah membersihkan semua kertas kado yang berserakan Diandra duduk di kursi dengan leptop yang menyala dan beberapa buku di depannya. Ia akan mulai mengerjakan tugas lebih dahulu baru mempelajari buku tebal pemberian ayahnya.
Diandra begitu fokus mengerjakan tugas bahasa indonesia di mana ia di suruh membuat biografi dengan maksimal 2 lembar. Jemarinya mulai mengetik kata per kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Povera Ragazza [Selesai]
Ficção AdolescenteSeries # 8 Diandra Larasati *** Hari ulang tahunnya terasa berbeda dari tahun biasanya. Ulang tahunnya yang ke delapan belas seakan menjadi dunia baru untuk Diandra. *** Belum genap usia delapan belas tahun, Diandra di paksa tinggal sendiri oleh s...