24. PERGI?

24K 1.7K 66
                                    

Udah vote?
Yuk, vote sebelum baca.

By he way, kalian suka nggak sih cerita ini?
Aku cuma pengen tau ✌😜

24. PERGI?

"Hati-hati di jalan mbak Viola, Mas Jeff."

Helsa melambaikan tangan pada sepasang kekasih yang baru saja memasuki lift. Malam ini dia bahagia bisa mengenal lebih dekat dengan Viola. Perempuan itu sangat ramah, sifatnya bisa dikatakan seperti Jefry. Kata Viola, mulai saat ini mereka berteman.

Pintu apartemen ditutup kembali, sampai didalam dia tidak menemukan keberadaan suaminya. Apa mungkin di toilet?

"Mas..., dimana?" panggilnya.

"Balkon, sayang," sahut Adryan dari sana.

Dia menghampiri suaminya yang sedang duduk di balkon kamar, ditemani segelas orange jus yang baru dibuatnya. Helsa mengacak surai hitam Adryan dengan gemas, lalu dengan asal merampas minuman milik sang empunya.

"Kebiasaan," tanda Adryan lalu menarik Helsa duduk dipangkuannya. Tangan kekar itu melingkar di pinggang istrinya, pundak wanita itu dibuat sebagai tumpuan dagunya.

"Bintangnya banyak malam ini," ujar Helsa. Netranya menatap takjub pemandangan langit malam, dengan milyaran bintang dan satu bulan yang terang.

Helsa berdehem, Adryan sama sekali tidak menanggapi ucapannya. Malahan, pelukannya semakin erat, jangan lupakan dengan tangannya yang terus menjelajahi perut buncit istrinya.

"Mas, lagi kenapa sih? Tumben nggak banyak bicara dari tadi, Mas juga nggak antar Mas Jefry dan mbak Viola sampai pintu."

"Kamu udah minum susu?" tanya Adryan.

"Mas lagi sembunyiin sesuatu dari Helsa, kan?"

Adryan terdiam, sebenarnya sejak tadi dia memikirkan perkataan Jefry. Bunda Marimar sudah mengetahui perihal kehamilan Helsa, dan lebih parahnya bunda mau mereka pisah. Tapi, tentu saja tidak akan dikabulkan.

"Nggak ada sayang, Mas cuma lagi kepikiran sama Denta. Mas pengen ke rumah sakit, Mas mau lihat perkembangannya." Adryan mengalibi, bukan itu yang dia pikirkan.

Tapi benar juga, apa kabar gadis kecil pengidap leukimia itu? Sudah lama mereka tidak bertemu, sehatkah pasiennya? Apa dokter Marcell bisa menangani semuanya?

Helsa mengubah posisinya bersandar pada dada bidang suaminya. Membalas pelukan pria itu, mencari kehangatan dalam pelukannya.

"Bunda udah tahu Helsa hamil sama orang lain, apapun keputusan Mas Adryan nanti, Helsa akan terima."

Mendengar itu, Adryan langsung menangkup wajah wanitanya. Dia menggeleng keras, tahu apa maksud istri kecilnya.

"Nggak sayang, Mas nggak akan ninggalin kamu." Adryan membawa kembali Helsa dalam pelukannya, mengecup puncak kepala istrinya penuh sayang.

Dalam diamnya, Helsa menangis. Mengingat bagaimana saat dengan tidak sengaja dia mendengar Jefry memberitahu bahwa bunda ingin memisahkan mereka.

"Helsa memang kesalahan terbesar yang masuk dalam kehidupan Mas Adryan. Seharusnya kita nggak bareng, seharusnya Mas biarin Helsa berangkat ke Kanada hari itu."

"Nggak ada kesalahan, sayang. Kamu disini, ditakdirkan untuk Mas." Adryan mengusap air mata dari pelupuk mata istrinya, lalu mengecup mata itu. Helsa tidak boleh menangis, dia hanya boleh menangis ketika bahagia saja.

Wanita hamil itu menggigit bibir dalamnya saat Adryan menyatukan kening mereka. Netranya tertutup seperti sedang menerima aliran cinta yang begitu deras. Helsa mampu merasakan ketulusan suaminya.

"Jiwa kamu, nafas kamu, hidup kamu itu semua milik Mas. Mas sakit setiap melihat kamu nangis, sayang," ungkap Adryan bersungguh-sungguh.

"Jika ditanya Tuhan siapa yang paling Mas mau di dunia? Mas akan teriak nama kamu dengan kencang, Mas akan bilang kalau kamu yang Mas mau."

Air matanya kembali luruh, kenapa wanita sepertinya bisa menemukan pria sebaik dokter ini. Pria berjas putih yang selalu ditolak kehadirannya, Adryan bahkan lebih dari kata cukup.

Dia seperti malaikat. Ya, malaikat tidak bersayap. Banyak orang yang dia tolong dengan uluran tangannya, dan ada satu hati yang ditolong dengan segenap jiwa dan raganya.

Dia adalah Helsa Septian. Perempuan dengan ribuan paku yang ditancap dalam satu waktu, ditinggal pergi ayahnya dan dikhianati oleh kekasihnya. Dokter Adryan datang sebagai malaikat, membantunya bangkit dari segala keterpurukan.

****

Bunda mencengkram kuat stir mobilnya, ini sudah dua minggu setelah putra bungsunya sembuh namun dia belum jenguk. Dokter Adryan melarangnya ke apartemen, seperti yang dikatakannya pada Jefry dua minggu yang lalu.

Dan hari ini bunda ingin menjenguknya. Persetan jika nanti Adryan mendiaminya.

Mobil alphard putih itu masuk ke basement apartemen yang ditempati putranya, langkah heelsnya yang tidak terlalu tinggi itu memenuhi sepanjang koridor gedung mulai dari parkiran basement.

Bunda menautkan keningnya saat mendapati Helsa yang baru saja menutupi pintu apartemennya.

"Mau kemana?" todong bunda membuat Helsa terlonjak kaget.

"Bunda," sebutnya. Wajahnya sedikit tunduk, Helsa terlalu takut untuk menatap mata ibu mertuanya.

"Dimana Adryan? Saya ingin melihat kondisi putra saya," tanya bunda dengan nada suara yang sangat angkuh.

"Mas Adryan sudah kembali ke rumah sakit, Bun. Sudah satu minggu Mas Adryan kembali bekerja," jelasnya dengan nada lembut, terlihat sekali Helsa yang takut menatap netra hitam ibu mertuanya.

"Kamu hanya membiarkan saya berdiri di luar pintu seperti ini? Tidak berniat mengajak masuk ke dalam?"

Helsa langsung mempersilahkan mertuanya masuk, tadinya dia ingin ke minimarket dekat apartemen ini, namun semuanya gagal saat bunda datang menyapanya dengan wajah super jutek.

"Bunda, Helsa buatkan minum."

"Cari laki-laki pemilik janin itu," sarkas bunda. Helsa berhenti di pijakannya, tubuhnya menegang. Untuk kembali melangkah dia tidak sanggup.

"Masa depan Adryan bukan bersama kamu, Helsa."

"Pergi! Jika kamu mencintainya, biarkan dia bebas tanpa kamu dalam kehidupannya."

Helsa menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk menahan tangisannya. Perkataan bunda melukai perasaannya, Helsa tertampar dengan kenyataan itu. Benar kata bunda, Adryan berhak bahagia dan itu bukan bersamanya.

Hal yang paling ditakutkan akhirnya terjadi hari ini, bunda memohon dengan wajah yang memelas, berharap Helsa mau meninggalkan putranya.

"Helsa nggak bisa, Bunda. Helsa mencintai mas Adryan," balasnya pelan.

Bunda beranjak dari duduknya, mendekati Helsa yang membelakanginya. Wanita paruh baya itu menyentuh perut buncit menantunya. "Disini tidak ada darah keturunan Brawijaya."

Ingin sekali Helsa meneriaki suaminya sekarang, meminta pertolongan. Helsa takut sendiri, dia merasa disudutkan disini.

Bunda mengusap air mata dari sudut mata Helsa, menyampirkan rambutnya ke belakang daun telinga. Ia menggenggam erat tangan halus menantunya, menatap lekat netra hitam Helsa yang sudah kembali berkaca-kaca.

"Tinggalkan Adryan. Itu adalah cara kamu mencintai dia yang sesungguhnya."

***

Terima kasih sudah baca Wingless Angel

See you next part 💕

WINGLESS ANGEL [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang