10# Our Destiny

143 23 4
                                    

Aku yakin, tidak ada kata 'tidak' untuk bertemu kembali.

-Sagara Biru-

****

Jemari Zara menari di atas kertas putih, menggoreskan puluhan kata dengan pena nya. Sudut bibirnya tertarik membentuk lengkung senyum yang tiap saat dia tampilkan untuk orang-orang yang selalu dia temui. Termasuk para pasiennya saat di rumah sakit. Tak pernah sekalipun dia mengeluhkan aktivitas yang setiap hari dia lakukan. Yang ada dia sangat bersyukur.

Usai menulis surat tersebut, Zara melipat dengan begitu rapi dan dimasukannya ke dalam amplop. Lalu menyimpannya dengan aman di dalam tas ransel yang selalu dia bawa. "Permisi dokter Zara. Ada pasien di depan." Seseorang mengetuk pintu ruangan Zara membuat wanita itu bergegas menemui pasiennya.

Jarum jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam namun Zara masih berada di rumah sakit karena harus menukar jadwal jaganya dengan rekannya yang punya urusan mendadak. Selama berjalan di lobi rumah sakit, seseorang mengikuti Zara dari belakang tak lama bahunya ditepuk pelan hingga membuatnya terkejut, namun masih bisa mengontrol ekspresi wajahnya.

"Astaghfirullah, Aley. Kamu ngagetin aku aja, kirain siapa dari tadi ngikutin aku." Wanita itu terbahak-bahak mendapat keluhan dari Zara.

"Lagian kamu ngapain jalan sendirian di lorong rumah sakit kayak gini, nanti dikira kuntilanak. Pasien juga udah pada tidur, kenapa nggak langsung balik ruangan?"

"Aku cuma lagi cari udara segar. Kamu mau pulang?"

"Iya, nunggu Abang jemput."

Aley lalu kembali menyaut, "Oke, jangan terlalu lama diluar, udara malam nggak baik buat kesehatan. Aku pulang dulu, ya."

"Hati-hati." Zara melambaikan tangan pada Aley. Wanita itu seperti duplikat dirinya. Hanya saja, Aley selalu dipenuhi dengan keceriaannya, berbeda dengan Zara yang selalu tampak murung meskipun bibirnya tersenyum begitu manis.

Aley merupakan rekan kerja Zara, dia adalah seorang perawat yang menjadi satu-satunya teman terdekat Zara di rumah sakit. Setelah Aley lenyap dari pandangan mata Zara, wanita itu duduk di tengah-tengah rumah sakit yang merupakan lapangan berisi banyak tumbuhan di sana.

Zara menempatkan dirinya duduk di kursi panjang dengan kedua tangan yang saling bersilang serta mata yang tak lepas menatap lekat bulan yang bersinar sangat indah malam ini. Tak pernah bosan dirinya setiap malam duduk manis di kursi yang sama menatap bulan sembari membaca ulang surat yang dia tulis dengan penuh ketulusan.

Sudah satu tahun berlalu, puluhan surat sudah Zara kirimkan ke alamat Sagara namun tak pernah sekalipun Zara mendapatkan balasan suratnya. Kabar Sagara hingga detik ini pun tak pernah Zara dengar lagi. Rasanya berat jika Zara harus kembali untuk menemui Sagara. Karena di sana banyak hal yang membuatnya teringat dengan bayang-bayang sang papa.

"Aku nggak akan pernah berhenti mengirim surat sampai kamu membalasnya."

"Kamu marah? Benci? Kecewa? Karena aku ninggalin kamu? Sampai kamu nggak mau bales surat yang udah aku tulis cukup banyak. Kamu punya hati, Sagara?"

Dalam benaknya Zara selalu berdebat. Disatu sisi dia menyalahkan dirinya sendiri namun disisi lain dia menyalahkan Sagara yang tak pernah memberikan jawaban atas surat-surat yang sudah dikirim cukup banyak.

Sudah banyak cara Zara lakukan untuk mencari tahu bagaimana kabar Sagara namun usahanya selalu sia-sia hingga dirinya memilih untuk menyerah dan terus menulis surat yang mungkin tak akan pernah terbalaskan.

"Pa... Zara rindu Papa." Malam selalu menjadi tempat yang sangat berkesan bagi Zara. Sebab hanya di malam hari, di tempat ini pula, Zara mampu menangis sekencang-kencangnya, mampu mencurahkan semua yang tersimpan dalam hatinya tanpa seorang pun mendengarnya.

Lembayung Sagara | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang