31# Masih Ada Rasa

69 17 0
                                    

Sagara membuka matanya dengan berat, kepalanya terasa sangat pening dan ia merasa sudah tertidur cukup lama. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seluruh ruangan bernuansa putih dan tangannya sedang di infus. Dua orang yang sedang berjaga di ruangan Sagara tertidur pulas. Mereka adalah Aryl dan Daniel yang duduk secara terpisah.

Meski memori semalam tidak begitu jelas di benak Sagara, pria itu terus berusaha mengingat apa yang terjadi. Setelah cukup lama menutup mata, memori yang menyakitkan itu benar-benar kembali merusak suasana hati Sagara. Terutama tentang cincin itu, dimana cincin itu berada setelah Sagara mempertaruhkan nyawanya untuk mencari.

"Cincin..." Sagara memegangi kepalanya yang mulai berdenyut kesakitan. Rasa sakit kepalanya dipicu akibat tekanan darah Sagara yang sangat rendah.

"Sagara? Kamu udah bangun?" Aryl melirik jam di ponselnya dan melihat di sana baru menunjukkan pukul tiga pagi.

"Cincin itu di mana?"

"Diambil sama Ayah kamu."

Sagara mengerang frustrasi, jangan sampai Aksa membuang cincin itu atau bahkan membiarkannya hilang. Sagara tidak akan pernah memaafkannya setelah ini.

"Sagara udah sadar, saya mau kembali ke apartemen, Daniel kamu urus dia jangan sampai kabur ini perintah tuan," sahut Aryl kepada Daniel yang baru saja terbangun mendengar pembicaraan mereka.

"Baik, Nyonya."

"Kamu tahu sesuatu kan tentang Ayahku? Katakan, apa yang membuatmu terjebak di sini? Aku akan bantu kamu." Sagara menyeletuk sebelum Aryl melesat meninggalkan ruang rawat Sagara.

Aryl yang menyadari pertanyaan itu mengarah padanya mendadak berhenti lalu membalikkan badan. "Kamu peduli denganku sekarang, Sagara? Setelah kamu sembuh aku akan menceritakan segalanya yang aku tahu. Sekarang aku punya urusan."

Sagara memijit pelipisnya, dia bingung akan melakukan apa. Semua persiapan pernikahan bahkan undangan sudah selesai semua. Sagara bisa dengan mudah membatalkan semuanya karena uang bukan masalah baginya, namun dia sudah mengorbankan waktu dan fisiknya untuk mengurus itu semua hanya untuk pernikahan mereka, tapi Zara malah membatalkannya karena kesalah pahaman. Sagara juga merasa letih sudah tidak sanggup untuk melakukan apapun selain tidur.

Sekitar pukul tujuh pagi, Sagara kembali terbangun. Pria itu meminta untuk keluar mencari udara segar. Dia bersender pada salah dinding rumah sakit yang terbuat dari kaca. Melihat pemandangan menakjubkan pagi hari, di mana matahari mulai muncul menunjukkan sinarnya yang tak tertandingi.

Keadaan Sagara masih tidak cukup baik, wajahnya masih sedikit lebam terlebih ketika Aksa memukulnya sangat keras saat Sagara tahu bahwa Aksa adalah seorang pembunuh. Bahkan sampai saat ini Aksa tidak berani menampakkan batang hidungnya di depan Sagara.

Tatapan mata Sagara beralih memandang sosok wanita yang semalam membuat hatinya hancur berkeping-keping. "Zara!" Sagara berusaha menghalangi wanita itu melangkah lebih jauh. Sagara ingin berkomunikasi dengannya.

Zara berhenti melangkah namun matanya tak lagi menatap Sagara melainkan memandang ke arah lain, Zara juga tak menyahut panggilan Sagara.

"Kamu percaya kan kalo bukan aku yang lakuin itu?"

Mulut Zara tampak membisu tidak menjawab pertanyaan Sagara. Padahal dalam hatinya Zara ingin berteriak dan memakinya karena sudah mengambil nyawa orang yang paling ia sayangi dan sudah membuat hatinya jatuh kepada orang yang salah.

"Kalo kamu percaya seharusnya polisi sudah datang ke sini dan membawaku. Kamu masih cinta kan sama aku, Zar? Karena itu kamu nggak berani," lanjut Sagara.

Sejak tadi Zara hanya diam karena dia sungguh kecewa dengan Sagara sampai ia tak bisa berkata-kata lagi. Tapi setelah ucapan Sagara barusan, Zara semakin tertarik untuk membawa kasus ini kembali ke pengadilan dan tidak akan peduli dengan nasib Sagara.

Lembayung Sagara | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang