7# Hati Yang Retak

174 27 0
                                    

Zara melangkah keluar ruangan, banyak pandangan mata yang mengarah kepadanya. Seolah bertanya bagaimana keadaan Sagara? Mereka adalah para perawat dan juga beberapa dokter. Kondisi Sagara saat ini memang terlihat sangat lemah, Zara pun tak percaya pria sekuat Sagara harus tertunduk lemah di ruangan seperti itu tanpa harapan.

"Sagara tidak mau menemui siapapun, kecuali ayahnya datang ke sini untuk membawa Ana pulang ke tempat peristirahatan terakhirnya." Tanpa perlu bertanya Zara sudah menjelaskan lebih dahulu.

Tubuh Zara juga terasa sangat berat dan begitu lelah. Wanita itu duduk di kursi dan mengangkat kepala menatap langit-langit rumah sakit. Dia sangat berduka atas kepergian Ana, meskipun mereka baru mengenal sekitar satu minggu tapi Zara bisa merasakan bahwa Ana adalah gadis yang baik dan penuh sisi positif.

Terlintas dalam benak Zara kata-kata terakhir yang Ana lontarkan. Zara janji pada dirinya sendiri akan selalu ada untuk Sagara entah saat pria itu bahagia atau bersedih. Zara akan menjadi satu-satunya teman baik Sagara.

Air mata Zara menetes begitu saja. Sejak tadi dia berusaha terlihat tegar dihadapan Sagara namun runtuh juga pertahanannya untuk menangis keras.

"Dokter Zara! Tuan Aksa ada di sini. Beliau ada di ruang administrasi!" Daren membawa kabar bahagia pada Zara. Wanita itu segera menghapus air mata kemudian menemui Sagara yang masih menyendiri di ruangan.

Sagara tengah duduk di pojok dengan menekuk kedua lututnya. Zara perlahan mendekat dan memberitahu Sagara secara baik-baik, karena Zara tahu betul emosi Sagara masih naik turun.

"Ayah kamu ada di sini untuk bawa Ana."

Kalimat singkat itu berhasil membuat Sagara bangkit dan keluar ruangan menemui Aksa. Zara melihat jelas bagaimana tajamnya tatapan pria itu. Takut Sagara melakukan sesuatu yang nantinya akan membuat dirinya menyesal, Zara membuntuti Sagara.

"Sekarang sudah sadar kalo Ana adalah anak kandungmu, Tuan Aksa?" Sudah Zara duga sebelumnya, Sagara pasti akan menyindir Aksa. Kali ini pria itu tampak berani dan kuat tidak seperti tadi yang terlihat sangat lemah.

"Seandainya Ana tidak membutuhkan tandatangan Tuan. Saya tidak akan pernah meminta Tuan datang ke sini. Sekarang silakan pergi," kata Sagara begitu pelan namun terdengar sangat menyakitkan.

"Sagara! Jaga ucapanmu! Ini rumah sakit!"

"Yaa... Ini memang rumah sakit, siapa yang bilang ini pasar? Apa ucapan saya ada yang salah, Tuan Aksa?"

Aksa memalingkan wajahnya dari pandangan Sagara karena sudah terlalu malu dilihat banyak orang disekitar rumah sakit.

"Sagara, jangan berkata seperti itu. Kamu akan menyesal, terakhir kali kamu bilang menyesali ucapanmu karena membentak ayahmu. Jangan lakukan itu lagi," bisik Zara di samping Sagara.

Mendengar bisikan Zara, pria itu menghembuskan napas kasar kemudian mengangguk untuk tidak terpancing emosi. Sagara juga tidak ingin bertengkar dengan Aksa karena itu membuatnya lebih sakit hati.

Dokter membawa Aksa untuk menemui jenazah Ana yang akan segera dibawa ke rumah. Sagara mengikuti mereka dari belakang. Ada banyak umpatan yang terlintas di pikiran Sagara dan ingin dilontarkan pada Aksa.

"Puas sekarang? Selamat Anda memenangkan permainan ini," kata Sagara saat Aksa sudah melihat Ana yang tak bernyawa lagi.

Aksa hanya diam tak mendengarkan ucapan Sagara kemudian memilih keluar dari ruangan.

"Masih pantes Anda disebut seorang Ayah? Saat putrinya meninggal pun tidak ada sedikit air mata yang menetes, tidak ada permintaan maaf, tidak ada penyesalan. Sebetulnya terbuat dari apa hati Anda, Tuan Aksa?!" Sagara tak tertahankan untuk melontarkan kalimat yang sejak tadi berkumpul di kepalanya.

Lembayung Sagara | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang