Gamaliel mencoba menghubungi Veranda lagi. Namun, masih tak ada jawaban. Saat mengirimkan pesan, hasilnya juga sama. Selain itu, tak terlihat foto profilnya. Dia menghela napas, sesuai dugaannya, gadis itu sudah memblokirnya.
Rambutnya yang sedikit berantakan, semakin berantakan ketika tangannya mengacak-acak. Dadanya terasa panas, kesal. Entah kepada dirinya sendiri atau dokter itu—keduanya, bahkan juga teman-temannya. Berkali-kali dia merutuki diri, berpikir seharusnya menolak tawaran Beby dan memilih untuk tak mengindahkannya. Pasti hasilnya tak akan seperti ini, bukan?
Setidaknya masih ada hari esok, batin Gamaliel.
Dalam hati, dia berjanji akan menemui Veranda. Besok, di kampus. Kemudian dia akan menjelaskan mengenai yang sebenarnya terjadi serta meluruskan kesalahpahaman gadis itu—sepertinya mulai berpikir bahwa dia adalah cowok tidak waras yang selalu berkencan dengannya.
><
Gamaliel bangun dua jam lebih awal dibanding biasanya. Dia sengaja bangun lebih awal agar bisa ke kampus lebih awal pula. Tentunya alasannya masih berkesinambungan dengan peristiwa kemarin. Bahkan ketika kembali mengingatnya, dia berulang kali ingin kembali ke masa lalu dan memerintahkan dirinya sendiri agar tak terpancing dengan pertanyaan si Dokter. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Yang terjadi di masa lampau, tak akan bisa terulang. Tak akan bisa diubah. Sama seperti keinginannya untuk mencegah Veera pergi pada hari itu.
Gamaliel menatap lantai yang masih basah—bekas air dari kakinya saat beranjak dari kamar mandi. Entah mengapa setiap mengingat kesalahannya yang menyebabkan gadis itu pergi, dia merasakan dadanya sesak. Suara-suara aneh yang seolah menyalahkannya juga kerap terdengar. Suara dari dalam kepala. Suara yang seolah mendorongnya jatuh dalam jurang. Terperangkap dalam kesunyian dan kegelapan. Sendirian. Tak bisa keluar.
Helaan napas keluar dari mulut cowok itu. Saat ini dia harus fokus kepada Veranda. Dia harus meluruskan kesalahpahaman yang terjadi kemarin, sebelum gadis itu semakin berpikiran macam-macam tentangnya. Lagi pula, dia masih waras. Hanya saja adik beserta teman-temannya itu terlalu melebih-lebihkan. Buktinya hingga saat ini dia masih bisa hidup dengan normal, dia masih mampu mengendalikan dirinya.
Cowok itu terdiam. Mengendalikan diri. Entah mengapa ketika memikirkannya, sudut hatinya meragu. Namun, sudut lain seakan mengatakan jika itu benar. Sebenarnya ... apa yang terjadi kepadanya?
Gamaliel menggeleng. Dia tahu, itu tak mungkin. Dia tahu, mereka salah. Mereka hanya berprasangka tanpa mengetahui kondisinya yang sebenarnya. Dia baik-baik saja, dia tahu itu. Akan tetapi, mengapa kini dia menjadi ragu? Pasti pengaruh dari mereka, pikirnya seraya kembali mempersiapkan diri. Lagi pula, dia tak boleh membuang waktu saat ini. Setelah selesai mempersiapkan diri, dia langsung keluar dari kamar dan pergi ke dapur.
Kala itu, dia tak sengaja bertemu Magdalena yang baru saja mengangkat masakannya. Ibunya itu hanya memandangnya yang tengah terburu-buru dengan kerutan di dahi.
"Iel, kenapa pagi-pagi udah rapi banget?" tanyanya seraya menengok Gamaliel yang hanya mengambil roti tawar.
"Ada jadwal pagi," jawabnya singkat seraya menghabiskan roti yang baru saja diambilnya, lalu berjalan keluar.
"Sepagi ini?" Tampak ekspresi tak percaya yang ditunjukkan oleh Magdalena. Dia tahu jika DKV termasuk jurusan yang tidak santai. Namun, mustahil juga jika jadwalnya dimajukan. Terlebih sepagi ini.
"Iya, Iel pergi dulu, ya!" Gamaliel menekan kenop pintu seraya melangkah keluar.
Magdalena tak sempat menjawab dan hanya dapat mendengkus ketika melihat anaknya yang sedang dikejar waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lovely Princess
Fanfiction[TAMAT] (16+) Bijaklah mencari bacaan agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Peringatan: Semua yang tertulis merupakan fiksi belaka. _________ Hampir tiap malam, mimpi itu selalu menghantui Celine. Bukan sekedar mimpi buruk, tetapi juga me...