Gamaliel tidak bisa menahan rasa keterkejutannya ketika Sekar menyebut sosok di sampingnya itu Veranda. Salah. Gadis di sampingnya bukan Veranda, dia Veera. Begitulah keyakinannya.
"Tante nggak salah 'kan?" Pertanyaan Gamaliel seolah merusak suasana haru antara dua perempuan di depannya. Seolah tak bisa mengendalikan diri, cowok itu berjalan ke depan Sekar dengan sendirinya. Dia mencengkeram kedua bahunya. "Dia bukan Veranda, dia Veera, Tante."
Tatapan yang ditunjukkan cowok itu membuat Sekar bergetar. Terlebih lagi, tangan itu seolah ingin mencekiknya. Dalam hati dia bertanya, apa yang terjadi pada Gamaliel hingga dia bisa menatapnya dengan pandangan yang menurutnya tak mungkin dimilikinya.
"Mal!" Seruan Veranda menyadarkan apa yang diperbuatnya. "Aku kan udah bilang, aku Veranda, bukan Veera! Apa kamu lupa?!" Kemurkaan tergambar jelas di wajahnya.
Gamaliel mundur. Tatapannya masih menyuratkan rasa ketidakpercayaan. Dia menatap kedua tangan. Namun, kini entah mengapa dia tak mengamuk. Hanya saja, dia tak mengerti. Apa yang terjadi pada dirinya? Itulah yang dipikirkannya ketika menyadari tindakan bodoh yang baru saja dilakukannya. Dia hampir menyakiti salah satu orang yang dihormatinya. Orang yang sangat disayangi kekasihnya yang telah tiada.
Saat tengah berpikir, tetangga yang menyadari kehebohan berkumpul di sana. Veranda menanggapi kehebohan mereka dengan meredakan rasa penasaran mereka. Setelah mereka pergi dan Gamaliel terlihat lebih tenang, dia mendekatinya.
"Mal, kamu harus ke dokter."
Kali ini, entah mengapa dia ingin menuruti saran yang selalu diberikan teman-temannya itu. Namun, bukan dengan paksaan, melainkan keinginannya sendiri.
><
Gamaliel memandang jarinya yang tengah bermain dengan kosong. Dia masih memikirkan mengenai penjelasan Sekar. Dia tak mengerti, mengapa dunia bisa penuh kebetulan aneh seperti itu. Dia masih tak percaya, tetapi sudut hatinya percaya. Penjelasan itu, yang berarti Veera ... memang benar sudah tiada. Seharusnya dia bisa menerimanya, tetapi, sisi hatinya masih tak mampu. Dia tahu, merelakan yang tiada itu sulit, bahkan hingga sekarang dia masih tak menerima kepergian ayahnya. Apa dia memang tak bisa menerima kenyataan yang ada? Apa dia memang selemah itu?
Suara panggilan nomor antrian membuatnya tak lagi termangu. Segera dilihatnya nomor antriannya. Menyadari itu nomornya, tak membuang waktu, dia memasuki pintu menuju ruangan dokter yang dikunjunginya untuk ketiga kalinya, Ella.
Sesuai dugaannya, wanita 30 tahunan itu terkejut ketika melihat kehadirannya.
"Selamat siang, Gamal," sapa Ella. "Hari ini kamu ke sini sendirian?"
Gamaliel mengangguk. "Saya juga kemari dengan keputusan saya sendiri."
Ella tersentak. Dia tak menyangka jika cowok itu akhirnya memutuskan untuk pergi sendiri. Namun, dia juga ikut senang, karena berarti Gamaliel sudah bertekad untuk menyembuhkan sakit yang mengganggunya.
"Jadi, apa keluhan kamu?" Ella bersiap dengan bolpoinnya.
Gamaliel menundukkan kepala. "Saya ... hampir mencekik orang."
Suaranya menyuratkan kegetiran. Membuat Ella merasa kasihan dan juga ngeri. Kasihan terhadap Gamaliel yang terlihat sangat menyesali perbuatannya, serta ngeri jika sampai dia menjadi korban hampir tercekik itu.
"Tetapi, itu bukan keinginan saya. Saya nggak tahu, tetapi tubuh saya tergerak sendiri. Saya ... saya ...."
Gamaliel menutup wajahnya frustrasi. Dia menyalahkan dirinya sendiri dalam hati. Dia ingin sekali membunuh dirinya sendiri. Dia merasa tak berharga, bagai sampah. Terlebih rasa itu muncul hanya karena perkara kecil. Sangat kecil.
![](https://img.wattpad.com/cover/233703193-288-k335129.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lovely Princess
Fanfiction[TAMAT] (16+) Bijaklah mencari bacaan agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Peringatan: Semua yang tertulis merupakan fiksi belaka. _________ Hampir tiap malam, mimpi itu selalu menghantui Celine. Bukan sekedar mimpi buruk, tetapi juga me...