Celine menghela napas sembari tersenyum kecil menatap bayangan dirinya di cermin. Akhirnya, setelah dua hari sakit, kini kondisinya sudah lebih baik. Mungkin karena kehadiran teman-temannya yang menghiburnya. Apalagi, katanya hiburan adalah obat terbaik yang dapat menyembuhkan penyakit. Katanya sih.
Setelah merapikan diri di depan cermin, Celine langsung keluar kamar dengan tas yang sudah tersampir di bahu kanannya. Dia berjalan menuju ke meja makan yang saat ini hanya diisi olehnya dan juga Shani. Maklum, hari ini Greg dan Vino menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan mereka yang masih belum selesai.
Tangan mungilnya bergerak mengambil centong nasi, lalu menyendok sesendok nasi ke piringnya. Setelah itu, tangannya bergerak mengambil makanan pendamping nasi yang telah tersaji di meja. Saat akan mengambil, dia memperhatikan piring dan mangkuk itu, Shani memasak lauk yang tidak mudah basi. Apakah dia berjaga-jaga jika Greg dan Vino akan pulang terlambat?
Celine tersenyum kecil, tentu saja memang itu alasannya. Seharusnya dia pun tak heran, mengingat ibunya ini adalah Shani.
"Ayo berdoa dulu," ujar Shani membuat Celine mendongakkan kepala seraya mengangguk dan tersenyum.
Setelah itu, mereka berdua langsung mengepalkan kedua tangan mereka di dada dan Shani mulai memimpin doa, sementara Celine membaca doanya dalam hati. Saat doa selesai, mereka pun langsung memakan sarapannya.
Celine menyuapkan makanannya ke mulut. Rasanya enak sekali jika dibanding kemarin. Mungkin karena kondisi tubuhnya sudah membaik, dia bisa memakan makanan buatan Shani dengan lebih lahap. Sementara itu, Shani hanya tersenyum ketika bisa melihat anaknya sudah kembali seperti semula. Setidaknya, untuk saat ini. Dan jika bisa seterusnya.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Celine langsung beranjak dari kursi dan menaruh piringnya di wastafel dapur sekaligus mencucinya. Mumpung masih pagi dan ditambah dia masih memiliki waktu satu jam sebelum kelas dimulai. Piring ditaruh di rak setelah dia selesai mencuci. Namun, saat dia baru saja menaruh piring, tiba-tiba saja terdengar sebuah suara dari luar yang memanggil namanya.
Dia mengetahui suara siapa itu. Dan karenanya, dia akhirnya cepat-cepat kembali ke meja makan untuk meminum air putih hangatnya, lalu berpamitan kepada Shani sebelum pergi.
Gadis itu berlari kecil dan membuka pintu. Tepat di depan pintu rumahnya, Melati sudah berdiri di depannya dengan rambut yang dihiasi dengan jepit rambut dengan hiasan bunga kecil berwarna putih.
Setelah sedikit menyapa, mereka berdua langsung berjalan menuju ke kampus. Sepanjang perjalanan, Celine masih merasa tak enak. Apalagi, setiap dia mengingat jika kosan Melati jaraknya lebih dekat dibanding kampus. Namun, mau bagaimana lagi? Dia juga mau tak mau menurut jika tidak ingin diganggu Darren untuk sementara. Terlebih, dia tahu jika mungkin cowok itu akan mengawasinya dari daerah sekitar sini. Itu memang hanya dugaannya, tetapi dia tahu jika dugaan tersebut kemungkinan besar sangat mungkin terjadi—jika dia mengingat sifat Darren yang sangat berambisi.
"Meme anter Celine-nya sampai di sini saja," ujar Celine ketika mereka sudah sampai di depan gerbang kampus.
"Seriusan? Nggak sampai kelas aja?" tanya Melati yang sebenarnya mencoba memancing Celine agar membatalkan keputusannya.
"Nggak usah. Celine bisa sendiri kok."
Melati hanya menghela napas. Dia tahu, mustahil bisa mematahkan kekeras kepalaan sahabatnya itu.
Saat dia hendak menolak permintaan Celine, tiba-tiba saja teleponnya berdering. Sebelum mengangkat, dia mencoba melihat nama penelepon, teman sekelasnya sendiri. Setelah membacanya, dia langsung menerima telepon itu.
"Hah? Lo belom ngerjain tugas dan baru keinget sekarang?!" seru Melati membuat Celine bersorak dalam hati. "Oke, oke, gua nanti bakal ke sana buat bantuin lu. Iya, iya, jangan bawel, elah! Malu sama gender!" tambahnya seraya menutup teleponnya.
Setelah itu, dia kembali menatap Celine yang sepertinya merasa menang saat ini dan mau tak mau harus diizinkannya. Namun, keputusannya tiba-tiba saja berubah ketika ekor matanya menangkap bayangan seseorang. Lalu, tanpa basa-basi dia langsung menarik orang itu tanpa permisi dan masa bodo walau dia adalah kakak tingkat sejurusannya sendiri.
"Kenapa?" tanya Gamaliel yang kesal setelah tiba-tiba ditarik Melati.
Melati hanya nyengir. "Anu, Kak, bisa anterin Celine sampai ke kelasnya nggak?"
Gamaliel langsung melotot pada Melati, begitu pun dengan Celine. Setelah itu, cowok itu langsung menengok Celine sebelum memandang Melati tajam.
"Kenapa harus gue?" tanyanya setengah berbisik.
"Soalnya cuma lu yang lewat," balas Melati setengah berbisik.
"Tapi, kenapa harus dianter? Bukannya dia bisa sendiri?"
"Ayolah, apa salahnya sih bantuin adik tingkat sendiri?"
Gamaliel menghela napas. "Oke, oke, gue akan anterin dia ke kelasnya. Tapi, cuma kali ini aja. Dengerin."
Melati mengangguk mengerti sembari mengucapkan terima kasih. Setelah itu, dia langsung berbalik memandang Celine dan menepuk bahu Gamaliel.
"Oke, aku nggak akan anterin kamu. Tapi, sebagai gantinya, kamu harus-banget-mau dianterin sama Kak Gamal. Gimana?" tawar Melati seraya menaikkan kedua alisnya.
"Ah, nggak usah, Celine bisa ke sana sendiri ko—"
"Kalau kamu ngeyel pengen ke kelas sendiri, aku akan aduin ke Tante Shani."
Celine menelan ludahnya. Setelah itu, dia menghela napasnya.
"Iya, iya, Celine nurut."
Melati memamerkan senyuman kemenangannya ketika Celine mengaku kalah.
"Oke, kalau gitu, aku pergi dulu ya?" ujarnya seraya berbalik, lalu menepuk bahu kanan Gamaliel. "Tolong jagain anak ini bener-bener, Bang. Bapaknya galak pake banget soalnya," bisiknya seraya melangkah pergi meninggalkan dua sejoli itu.
Setelah Melati pergi, Celine dan Gamaliel masih diam di tempat. Namun, tak lama kemudian, Gamaliel menghela napas, lalu melihat gadis yang tingginya sepantaran dengannya itu. Mengajaknya untuk segera pergi ke kelasnya.
"Kelas lo ada di gedung bahasa kan?" tanya Gamaliel menebak.
Celine yang berada di sampingnya mengangguk membenarkan. Sementara itu, Gamaliel yang mendengarnya sedikit tersentak. Dia tak menyangka jika tebakannya benar, apalagi jika mengingat wajah Celine yang sebenarnya—menurut pendapat pribadinya—kemungkinan besar anak dari jurusan-jurusan IPS atau IPA.
"Lo ada di kelas yang mana?" tanya Gamaliel sebelum mereka melanjutkan perjalanan.
"Ada di dekat sini," jawab Celine seraya berjalan sedikit di depan Gamaliel.
Gamaliel mengangkat kedua alisnya, lalu mengikuti gadis itu di belakang. Sepanjang berjalan, dia masih heran, mengapa dia harus mengantar gadis itu ke kelasnya? Benar, karena pintaan Melati. Namun, sebenarnya bukan itu yang ingin diketahuinya, melainkan alasan di baliknya.
"Sudah sampai," ujar Celine membuat Gamaliel tersadar dari lamunannya. "Terima kasih sudah mengantar saya, maaf karena merepotkan Kakak." Celine tersenyum kecil.
"Oh, nggak ngerepotin kok," tanggap Gamaliel. "Kalau gitu, gue pergi dulu, dah." Cowok itu melambaikan tangannya seraya melangkah pergi dari kelas Celine.
Dia memilih jalan lurus dibanding memutar balik. Kebetulan gedung bahasa tidak terlalu jauh dari gedung seni—untungnya. Akan tetapi, saat dia tengah berjalan ke gedungnya, tiba-tiba saja dia merasa aneh. Dia merasakan itu lagi. Rasa yang mendorongnya untuk menyelidiki gadis itu ... lagi.
25 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lovely Princess
Fanfic[TAMAT] (16+) Bijaklah mencari bacaan agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Peringatan: Semua yang tertulis merupakan fiksi belaka. _________ Hampir tiap malam, mimpi itu selalu menghantui Celine. Bukan sekedar mimpi buruk, tetapi juga me...