38. Hilang

30 3 0
                                    

Suhu ruangan yang dingin, mendadak hangat. Cahaya lampu terlihat lebih terang hingga menembus kelopak mata yang menutup. Gamaliel merasakan kelembutan pada kasurnya. Membuatnya merasa merebahkan diri di atas karpet beludru. Walaupun merasa sedikit janggal karena tekstur kain yang lebih mirip seperti pasir pantai. Lembut.

Cowok itu langsung membuka mata ketika menyadari sentuhan aneh. Kini tubuhnya sudah berada di bawah langit. Warna merah jambu amat cemerlang, hanya ditutup oleh awan-awan tipis warna putih pastel bagai arumanis. Dia menggeleng. Bukan saatnya untuk menilai pemandangan awan. Memilih bangkitkan tubuh, kemudian memandang tempat berbaring. Ternyata hanya rerumputan. Akan tetapi, mengapa bisa selembut pasir dan bagai beludru? Perlahan dia mengerti, mungkin karena sekarang berada dalam alam mimpi.

Menatap langit berwarna merah jambu, dia jadi terpikir, sudah berapa lama tak ke sini. Namun, di sisi lain, terpikir pula, apa yang akan terjadi. Mungkinkah dia akan kembali menemui gadis itu?

Jika memang benar, dia tak akan membuang waktu. Segera mencari dengan berkeliling di sekitaran padang rumput. Namun, yang terlihat hanyalah hamparan rerumputan. Ketika berkeliling lagi, hamparan rerumputan itu menghilang begitu dia sadar.

Ke mana perginya? Dahi cowok itu mengerut. Kembali mencari tahu hingga akhirnya terhenti. Sebuah pohon berwarna ungu pastel menghentikannya. Ketika setangkai jatuh, ditengadahkan tangan untuk sekadar melihat, merasa familier dengan bentuknya.

Kelopak tipis terlihat kurus. Bagian dalamnya terdapat kelopak bunga yang lebih kecil dengan benang sari yang mencuat dari bunga kecil. Setelah memandang semua bagian, dia menyadari bahwa bunga itu adalah bunga flamboyan. Akan tetapi, dia sempat bertanya dalam hati, mengenai warna ungunya. Heran, sebab yang ditahu hanyalah bunga flamboyan berwarna merah.

Kepala cowok itu pun terangkat, memandang bunga yang terus berjatuhan akibat terpaan angin, mengenai kepala. Memandang dalam dengan perasaan yang sama seperti dahulu. Kehangatan yang seolah menyelimuti tubuh dinginnya. Walaupun di sisi lain, dia masih merasa asing, sebab warna tak lazim bagi bunga tersebut.

"Gamal?"

Suara lembut yang amat dikenal mengagetkan. Awalnya tak mau berbalik sebab menganggap itu hanyalah ilusi. Namun, ketika suara itu kembali terdengar, akhirnya Gamaliel meyakinkan diri untuk berbalik.

Salah. Dugaannya salah. Yang terdengar bukanlah ilusi, melainkan benar-benar sosok yang telah lama tak terlihat. Gadis berambut panjang dengan poni yang sedikit menutup dahi. Mata yang sayu tampak mempesona dipandu bibir yang sedikit tipis. Sosok sang kekasih yang telah pergi.

"Veera?"

Ketika Gamaliel memanggil namanya, Veera tersenyum. Setelah menunggu lama, akhirnya cowok itu kembali menyebut namanya, di hadapannya.

"Kenapa ... kamu datang?" Gamaliel sempat ingin mengatakan lagi, tetapi dia memilih mengatakan dalam hati.

Veera yang ditanyai tak menjawab, melainkan tetap memasang senyuman. Membuat rasa bersalah yang terbendung keluar deras bagai hujan yang tiba-tiba turun. Namun, tak terasa dingin dari hujan itu, melainkan, hangat. Tak ada aroma tanah menguar, melainkan harum. Seperti bunga, tetapi juga mengingatkannya dengan arumanis.

"Hanya sekadar memberi salam," jawab Veera seraya mengulum senyum. "Dan juga untuk memberitahukan mengenai sang flamboyan ungu yang akan menggantikanku."

Gamaliel merasakan dadanya seolah terbakar, membuat aliran darah mendidih dan ikut memanaskan seluruh tubuh. Kedua giginya saling beradu. Mata mendelik saat memandang sang kekasih yang lama hilang.

"Apa maksud kamu, Ra?!" Seruan tingginya tak menggoyahkan Veera.

Gadis itu masih tetap berdiri di sana sembari mengulum senyuman kecil di wajah teduhnya. Dia bahkan tak repot-repot menjawab pertanyaan yang dilontarkan cowok itu. Seolah tak mengindahkan. Hanya tersenyum sebelum akhirnya menghilang diterpa angin, menjadi kelopak-kelopak bunga merah yang meninggalkan sang kekasih.

"Veera!" Cowok itu kembali berteriak. "Aku tahu kamu masih di sini, Veera!"

Cowok itu mengigit bibirnya. Kembali meneriakkan nama Veera. Dia terus meneriakkan namanya, hingga tenggorokkannya kering. Kehilangan napas. Namun, dia masih tak berhenti. Memaksakan suaranya yang sudah serak, dia kembali berteriak untuk memanggil gadis itu. Sayangnya, dia tak muncul. Seolah tubuhnya benar-benar sudah menghilang tertiup angin.

Gamaliel berdecak. Menahan rasa amarah bercampur duka yang meremas hatinya. Umpatan bersuara rendah terus disuarakan. Dengan tangan terkepal kuat, dia terus mengatakannya, tak peduli badannya kini mulai bergetar tak terkendali. Tak peduli bahwa air mata yang ditahannya keluar dengan deras. Tak peduli walau saat ini dia juga ikut menghilang perlahan-lahan. Bukan dirinya, melainkan sesuatu dalam dirinya. Yang mana dia tak tahu apa.

><

Suara degap terdengar ketika Gamaliel menaruh gelas dengan kencang. Beruntung, gelas yang yang ditaruh tidak sampai pecah ataupun retak.

Dia menutup wajah dengan kedua tangan. Napas dingin keluar dari mulutnya, membuat suhu dini hari menjadi lebih dingin. Padahal suhu air yang tadi diminum hangat, tetapi ternyata masih tak bisa menutupi dingin yang dirasakan sejak membuka mata. Dia jadi ingin kembali mengumpat, tetapi tak dilakukan, sebab tenggorokannya masih serak, ditambah sekarang masih dini hari. Khawatir jika terdengar tetangga yang bangun jam segini.

Akhirnya cowok itu memutuskan untuk kembali mengisi gelasnya dengan air hangat. Kembali minum hingga sekiranya suhu tubuh sedikit naik. Walaupun tenggorokannya jadi sedikit tak nyaman, setidaknya rasa dingin itu sudah hilang. Membuatnya sedikit lega. Namun, nyeri di dada masih belum hilang. Perasaan bagai tertusuk ribuan jarum. Membuat dadanya sesak, terluka.

"Sial." Akhirnya dia tak bisa menahan diri untuk mengumpat walau bernada rendah.

Dia menaruh kedua tangannya pada meja kitchen set berbentuk L itu. Menatap lantai yang terlihat redup dengan pandangan tajam. Namun, dalam pandangan, terlihat rona duka walau samar. Kedua gigi saling beradu, menahan kelenjar air mata menunjukkan duka.

Namun, pada akhirnya dia pun tak bisa menahannya. Kala kembali teringat akan rasa kehilangan yang telah lama menetap. Kehilangan sang ayah, kekasihnya, dirinya, segalanya. Cowok itu tersenyum kecut, seolah membenarkan. Dia memang benar-benar sudah kehilangan segala yang berharga untuknya. Dan penyebab dari kehilangan itu adalah dirinya sendiri.

Perlahan, dia tertawa kecil. Menertawakan dirinya sendiri. Mencemooh dirinya sendiri. Tak berguna. Sebenarnya, mengapa dia harus tetap bertahan setelah kehilangan segalanya? Lagi pula, tak ada gunanya juga memperbaiki semuanya. Sebab semuanya sudah tak bisa lagi diubah. Semua sudah telanjur berubah. Tak akan lagi jadi sama. Seberapa keras pun dia akan mencoba.

Dia sudah kehilangan. Hilang, menjadi debu. Tersapu angin hingga tak dapat terlihat lagi.

Semua sudah hilang. Tak ada gunanya untuk dicari, tak ada gunanya mencari pengganti. Sebab apa yang hilang tak bisa terganti. Tak peduli walau dapat digantikan dengan yang lebih baik dan setara. Sebab yang hilang sudah terlalu melekat dan berarti, hingga akhirnya terus terikat dan tak bisa direlakan pergi.

 Sebab yang hilang sudah terlalu melekat dan berarti, hingga akhirnya terus terikat dan tak bisa direlakan pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jumkat : 1009
Publish 03 Desember 2021

Catatan Penulis

Selamat bulan Desember! Setahuku bulan ini ada ujian akhir semester, ya? Untuk yang ujian, semangat!

A Lovely Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang