Celine mengerjapkan mata berkali-kali. Dia masih tidak bisa tidur. Pertanyaan dari Melati itu masih terus membayangi sejak kepalanya menyentuh bantal. Coba untuk melupakannya, gadis itu memaksa untuk menutup mata dan fokus tidur. Akan tetapi, tiap menutup mata, bayang-bayang Melati yang menanyakan malah semakin terlihat jelas. Akhirnya dia pun tak dapat tidur tenang.
Keputusan untuk bangkit dari tempat tidur pun diambil. Kemudian, mengambil kunci dan membuka laci nakas untuk mengambil diarinya. Harapnya setelah mencurahkan kegundahan hati, semoga saja dia bisa tidur nyenyak. Ketika buku telah terbuka, pikiran yang mengganggu itu pun langsung dituliskan. Tentang masa lalunya, tentang masa kini, tentang pertanyaan Melati, tentang mimpinya.
Mimpi itu memang tak pernah lagi mengganggunya akhir-akhir ini. Akan tetapi, itulah yang juga membuatnya merasa janggal, di samping rasa lega karena lelah melihat minpi yang sama. Apalagi, mimpi itu pun terlalu abstrak untuknya. Tak berarti. Bahkan dia sendiri tak tahu mengapa mimpi itu hadir untuknya.
Untuk memberitahukan bahwa Gamaliel akan menjadi penolongnya?
Celine menggeleng. Dia tak bisa mempercayai hal itu. Terlebih, walaupun terdapat rasa aman kala lelaki itu mendekat, dia masih tak bisa percaya. Itu hanyalah sebuah mimpi. Lagi pula, mengapa harus lelaki itu?
Gadis itu tak mengerti. Mengapa dari sekian banyak orang, harus lelaki itu. Mengapa bukan orang-orang terdekatnya. Mengapa bisa dia. Mengapa harus dia.
Lembar yang menceritakan kegelisahannya telah selesai ditulis. Sedikit tak sesuai dugaan, sebab keganjilan itu masih terasa. Akan tetapi, setidaknya rasa itu sudah sedikit mereda. Sedikit itu jauh lebih baik dibanding tidak sama sekali, bukan? Begitulah pikirnya.
Setelah menyelesaikan tulisannya, dia mengembalikan diarinya dan kembali merebahkan diri di tempat tidur. Pandangan matanya memandang langit-langit kamar, membuatnya kembali teringat kepada apa yang baru saja ditumpahkan. Gadis itu kembali menghela napas. Rasa yang sedikit mereda malah kembali, membuatnya sedikit kesal. Akan tetapi, dia mencoba menghalau rasa itu dan segera menutup matanya. Harapnya setelah menutup mata, semua pikiran yang mengganggu akan hilang.
Akan tetapi, harapan itu langsung sirna ketika telah terlelap. Pandangan yang menjadi hitam, berubah menjadi pandangan yang lama tak dilihatnya. Mimpi itu datang kembali. Akan tetapi, ada hal yang berbeda. Langit berwarna biru dan rumput pendek berwarna hijau, bahkan rumputnya pun teksturnya sama dengan rumput yang berada di dunia nyata. Hanya satu yang masih sama, pohon flamboyan yang berada di sana, walaupun dengan warna yang berbeda dibandingkan biasanya. Ungu. Namun, bukan itulah yang membuatnya aneh. Sebenarnya, suasana yang terlalu nyata itulah yang menimbulkan perasaan aneh. Terlebih ketika dia merasa pernah melihat pemandangan itu sebelumnya.
Dengan langkah kaki yang maju perlahan, dia mencoba menyentuh batang pohon besar yang tampak sudah sangat tua itu. Perasaan familier kian terasa kala tangan telah bersentuhan langsung. Bukan familier, tetapi dia benar-benar pernah menyentuh pohon itu. Dia tak mengelak bahwa pernah merasakan rasa yang kini ada sebelumnya. Hari itu, hari ketika dia menyentuh pohon flamboyan tua yang diceritakan oleh Jinan di taman.
Rasa itu, sama seperti rasa yang kini. Namun, entah mengapa dia tak bisa mempercayainya, walaupun entah mengapa, sudut kecil dalam dirinya malah mempercayai hal itu.
“Enggak mungkin, kan?”
Tak sadar, kata-kata itu keluar dari mulutnya. Kemudian, pandangan matanya yang hanya menatap pohon mulai berganti kepada bunga-bunga berwarna ungu yang tumbuh indah dengan warna mencolok. Jika boleh mengaku, sungguh dia mengagumi pandangan yang kini tampil di depan mata. Walaupun di sisi lain, dia masih merasa heran dengan warnanya. Terus bertanya, mengapa bisa berubah. Mengapa harus warna ungu?
“Kita ketemu lagi.”
Sapaan yang terdengar khas itu membuat Celine segera berbalik. Kedua bola matanya langsung membulat sempurna ketika melihat Gamaliel yang berada di belakangnya. Lelaki itu hanya membalas rasa keterkejutannya dengan senyuman tipis. Seperti menandakan bahwa sesungguhnya dia telah menebak ekspresi itu. Walaupun di sisi lain, senyuman itu juga seolah menandakan bahwa dia sendiri tak menyangka akan mengalami mimpi yang sama lagi.
Ketika kedua manusia dengan tinggi serupa itu saling memandang, mereka sadar, bahwa mereka memiliki satu pertanyaan yang sama: alasan berada dalam mimpi yang sama. Bukan untuk pertama kalinya, melainkan sudah sedari lama. Walaupun dengan sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang tak mereka saling tahu, tetapi berarti sama—berhubungan dengan pohon flamboyan itu.
“Sejak kapan pohon ini menjadi berbeda?” Celine kembali memandang pada pohon flamboyan, mencoba tak terlalu terganggu dengan keberadaan lelaki yang tak dibayangkan akan hadir.
“Gue enggak tahu. Tapi, sejak mimpi terakhir, dia berubah.” Gamaliel berjalan mendekat hingga berada tepat di samping gadis itu.
“Mimpi terakhir? Tapi aku tidak melihat hal yang berbeda. Warnanya masih sama. Merah.”
“Jadi ini pertama kalinya?”
Celine mengangguk.
“Mungkin ada hubungannya sama lo ... bukan, tapi kita. Entah apa hubungan yang dimaksud.”
Lelaki itu meliriknya dengan senyuman kecil. Beberapa detik kemudian, pandangannya segera beralih kepada pohon flamboyan berwarna ungu itu. Bersama dengan si gadis, dia ikut menenggelamkan pikiran dalam kelopak-kelopak bunga berwarna ungu yang mulai turun satu-persatu akibat terpaan sang angin. Tenggelam hingga menyentuh perasaan hangat yang telah lama hilang.
Jumkat : 799
Published : 27 Februari 2022Catatan Penulis
Sebuah kebanggaan bisa publish tiga bagian dalam satu bulan! Eits, tapi tenang, ini belum bagian akhir dari perjalanan cerita ini.
Sampai jumpa lain waktu!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lovely Princess
أدب الهواة[TAMAT] (16+) Bijaklah mencari bacaan agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Peringatan: Semua yang tertulis merupakan fiksi belaka. _________ Hampir tiap malam, mimpi itu selalu menghantui Celine. Bukan sekedar mimpi buruk, tetapi juga me...