34. Konsultasi Terakhir

38 3 0
                                    

Ella menaruh penanya. Dia menghela napas, lalu memandang pintu putih yang berada di depannya. Kosong. Tak ada satu pun orang yang melewatinya. Melihat kesempatan itu, dia langsung membuka laci berisi benda pribadinya, mengeluarkan sebuah botol biru ukuran sedang dan meminumnya hingga isinya tinggal seperempat. Selesai minum, dia kembali menaruh botol itu ke dalam laci. Menunggu pasien berikutnya karena jam istirahatnya masih setengah jam lagi.

Sesuai dugaannya, 5 menit kemudian, seseorang langsung muncul dari balik pintu. Dia pasiennya kemarin, Gamaliel. Walau sebenarnya dia tak bisa memanggilnya pasien dikarenakan tak ada diagnosis mengenai penyakitnya. Bagian terburuknya, dia dikucilkan olehnya sepanjang proses diagnosis.Kalau boleh mengakui, Gamaliel adalah pasiennya yang paling menjengkelkan. Apalagi, dibanding merasa kasihan, dia justru merasa kesal ketika konsultasi. Sebab hal itu pulalah, dia berharap cowok itu tidak mengacau hari ini. Apalagi suasana hatinya sudah mulai tidak baik setelah konsultasi dengan pasien sebelumnya.

"Selamat siang Gamaliel, bagaimana kabarmu?" Seperti biasa, Ella membuka konsultasinya dengan basa-basi. Kali ini dia berharap Gamaliel menjawab basa-basinya.

"Siang juga Dokter Ella," jawab Gamaliel sembari menyunggingkan senyuman, membuat Ella sedikit terkejut, antara merasa senang dan aneh.

"Wah, sepertinya hari ini mood kamu lagi baik banget, ya?" Ella mulai mengambil buku catatannya. "Emang ada apa sih?"

Sungguh itu bukan basa-basi, dia benar-benar penasaran. Sedikit. Gamaliel duduk di sofa panjang yang tersedia, sedangkan Ella duduk di sebuah kursi dengan dudukan empuk yang berada di depan sofa. Ella menekan bagian atas bolpoin, memasang posisi siap mencatat keluhan pasiennya.

"Karena hari ini adalah hari terakhir saya bertemu Dokter."

Entah mengapa ketika mendengar jawabannya membuat Ella merasa kesal sekaligus lega. Namun, dia mencoba menyamarkan kedua rasa kontas itu dengan tertawa kecil.

"Jadi, karena kemarin kamu nggak jawab pertanyaan Dokter, akhirnya teman-temanmulah yang menjawab keluhan seputar kelakuan anehmu." Ella membalik buku catatannya hingga berhenti pada konsultasi pertama Gamaliel. "Kata mereka, kamu sering berhalusinasi jika kekasihmu masih hidup bahkan mengaku berjalan-jalan dengannya." Ella mengatakannya dengan hati-hati—takut menyakiti hati pasiennya.

Pertanyaan yang dilontarkan Ella membuat kepala Gamaliel terasa panas. Dadanya berdebar sangat kencang. Bahkan tangannya yang tadinya tenang kini, terkepal kuat. Pandangan tenang yang tadi ditunjukannya berubah tajam ketika menatap dokter di depannya itu. Tatapan itu membuat Ella merasa merinding. Mengingat terakhir kali dia melihat tatapan tajam itu adalah tiga tahun yang lalu, saat dia menangani pasien seumuran SMA yang kini menjabat sebagai pasien dengan hubungan terdekat dengannya.

"Lo salah." Suara Gamaliel yang tertekan membuat Ella sedikit panik. Namun, dia tetap mencoba tenang dan mempersiapkan diri untuk menelepon bantuan jikalau pasiennya mengamuk—seperti intruksi dari seniornya yang pernah menjadi korban bogem mentah pasiennya sendiri. "Veera ... dia benar-benar masih hidup. Gue tahu itu. Bahkan gue ngelihat dia dengan mata kepala gue sendiri! Lo, mereka, nggak tahu apa-apa!" teriakan Gamaliel yang kencang seolah bergema di dalam ruangan sedang itu.

Ella yang mendengarnya segera menghela napas, lalu melanjutkan konsultasi. "Apa yang membuat kamu berpikir jika Veera benar-benar a—"

"Gue punya nomornya," potong Gamaliel membuat Ella sedikit memelototkan matanya.

Dia tak percaya ketika cowok itu benar-benar yakin jika kekasihnya yang menurut penuturan teman-temannya sudah meninggal. Terlebih ketika dia menunjukkan layar ponsel pintar yang menampilkan nama Veera. Namun, sayangnya dia tak semudah itu mempercayai perkataan Gamaliel.

A Lovely Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang