BAB - 8: Gejolak Ketakutan

124 7 38
                                    

Mata Satya perlahan terbuka, kepalanya pusing dan mata berkunang-kunang. Ia mengerjap beberapa detik, dan masih saja kesulitan melihat dengan jernih. Padahal penglihatannya normal, tidak kayak dua sahabatnya -- Obi dan Tio -- yang bergantung pada kacamata saat menatap layar LCD atau komputer. Dengan berat, ia memaksakan diri menegakkan punggung.

Tempat apa ini?

Terakhir yang ia ingat adalah untuk merayakan kemenangan Grup Anggara dalam kasus sabotase, tim pemasaran mengadakan acara makan-makan lalu berlanjut ke pesta semalam suntuk yang diadakan oleh DJ Winny -- yang Satya tahu waktu di New York Tio suka mendengarkan semua lagu-lagunya setiap mengerjakan tugas -- karena Vika dapat diskon minuman sebesar tiga ratus ribu. Kemudian, tahu-tahu dia sudah ada di kamar hotel dengan penerangan bersumber dari lampu gedung. Perasaan Satya kali ini tidak pesan escort atau teman kencan barunya bernama Sintia -- yang diperkenalkan oleh Koko Tian saat Satya lagi ganti oli di bengkelnya beberapa hari yang lalu.

Tangan kirinya memegang sesuatu, begitu maju dan terasa tajam di bagian ujung. Satya buru-buru menyalakan lampu nakas bercahaya putih. Mulut menganga dan matanya terbuka lebar saat tahu benda itu, pisau dengan tangannya yang mengalirkan cairan merah. Begitu pandangannya berpindah-pindah, kali ini teriakannya bikin ia jatuh dari tempat tidur dengan kaki di atas masih nempel pada pinggir birai tempat tidur dan punggung nyeri terkena lantai karpet. Pisau itu terlepas dari tangannya.

"ANJING, SIALAN. SAKIT," umpat Satya. Kakinya ia miringkan ke kanan lalu posisinya berganti duduk, tangan kanannya menggosok bokong dan punggungnya.

Begitu sudah berdiri, ia memeriksa tubuhnya yang masih pakai kemeja warna merah terang dan lengan tergulung hingga siku. Parahnya, lima kancingnya terbuka dan sudah terkoyak serta dipenuhi oleh cairan merah. Buru-buru Satya tutup mulut, menahan diri untuk tidak muntah saat melihat sosok di tempat tidur dengan mata terbuka dan dipenuhi luka tusuk hingga gaun ketatnya compang-camping. Sosok perempuan itu terlentang dan dipastikan meninggal karena kehabisan darah.

Tubuh Satya bergetar, lagi-lagi ia menyaksikan kematian seseorang tepat di depan mata. Namun, ia memberanikan diri untuk lihat sosok perempuan itu lebih dekat -- hanya dari sisi kanan tempat tidur karena jika terlalu dekat bakal berbahaya. Rambut panjang berponi acak, bibir ranumnya yang selalu menggairahkan, dan tato unik bergambar yin dan yang di antara pundak dan leher sebelah kanan. Tetesan cairan merah itu menodai indahnya cincin emas putih di jari manis kanannya.

"Sintia," gumam Satya.

Pikirannya berkecamuk, kepalanya menggeleng ke segala arah. Perlahan secuil adegan di pesta DJ Winny muncul di benak, hanya menceritakan bahwa ia sedang minum-minum sembari mendengarkan racauannya tentang kehidupan. Sisanya tetap kosong, seperti ada yang sengaja menghilangkan bagian itu. Buru-buru ia hempaskan pikiran aneh, "Memangnya ini film sci fi tentang hilang ingatan tertentu hanya pakai obat? Nggak, nggak mungkin."

Buru-buru, Satya langsung mengambil sepatu pantofel model oxford Cole Haan tanpa dipakai dahulu. Tidak ada waktu untuk berbenah karena terlalu lama di situ akan meninggalkan kecurigaan orang-orang serta waktu terus berjalan. Arloji Tag Heuer Carrera di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul tiga pagi. Dia jalan cepat mengitari koridor, kata Nira paling cepat lewat tangga darurat jika ingin cepat. Syukurnya ketemu setelah mengitari dua pertigaan.

Baru saja dorong pintu, seseorang mendorong tangan kanannya sehingga pintu tertutup sempurna.

"Sar--" ucapannya terhenti saat Sarah membekap mulutnya ketika perempuan itu mendorongnya ke dinding.

Sarah buru-buru bicara. "Lo habis bunuh siapa, Sat?"

Satya melongo. "Gue nggak bunuh siapa-siapa, woy." Suaranya berbisik agar tidak menimbulkan gema. Lampu tangga remang-remang bikin ia sulit mengenali sosok Sarah seutuhnya jika mantan kekasihnya tidak bersuara. Mata pria itu terpicing dengan lipatan tangan di dada disertai senyum licik. "Justru gue yang penasaran, kenapa lo ada di hotel jam segini? Lo ngelonte?"

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang