BAB - 15: Tipu Daya

164 1 29
                                    

"Lo ... Lo ..." Aziz kembali menutup mulut.

Koko Tian buru-buru menghampiri. "Ziz, dengerin gue ..."

Aziz mundur seketika, memeluk diri sendiri. "Seketika gue merasa jijik dengan ini semua. Gue pikir lo tuh yang paling normal di antara kita semua, ternyata ...."

Sebelum Koko Tian maju lagi, seseorang yang dari tadi mengamati langsung berdiri dan menengahi mereka berdua. Baik Aziz dan Koko Tian terpana, tapi tidak lama bagi Aziz lalu menoleh pada Koko Tian dengan mata terpicing serta dua jari bergantian.

"Sepertinya ada tamu tidak terduga." Tamu itu menyentuh bahu Koko Tian penuh sensual. "Saya permisi dulu, terima kasih atas waktunya."

Mulut Aziz tetap menganga saat menyaksikan perempuan itu memasang sepatu hak datarnya yang diikuti kacamata dan jaket sebelum pintu apartemen tertutup sempurna. Aziz tidak memungkiri bahwa perempuan itu pasti usianya sudah berada di pertengahan empat puluhan. Namun, dia mengingat-ingat, sepertinya sosok itu familiar,

Aziz langsung menyerang Koko Tian dengan menarik kerah kaos dan menabraknya ke punggung. Dia tidak peduli dengan lehernya yang linu akibat harus bicara dengan sahabatnya dengan mendongak. Matanya melotot dan giginya menggigit bibir dalam, agar amarahnya terkendali. "Lo .... ANJIR. BISA-BISANYA LO YA? Bisa-bisanya lo ngomong ke kita soal perjuangan hidup dan bisnis bla bla bla tapi nyatanya sumber modal lo dari bobo sama Tante-tante?"

Koko Tian masih diam, tetapi tangannya berusaha keras melepas cengkraman Aziz. "Ziz, lepas ... nggak?"

Aziz menggeleng. "Nggak, gue belum salurin amarah gue dengan totalitas, Ko." Kali ini, cengkraman Aziz sudah mengenai leher Koko Tian.

Rintihan Koko Tian terdengar, tapi Aziz belum mau melepasnya. Koko Tian menggunakan sisa tenaganya untuk menendang selangkangan Aziz. Triknya berhasil, dia membiarkan Aziz mondar-mandir sambil teriak kesetanan. Koko Tian sendiri mengatur napas dengan melipat tangan di dada untuk mengendalikan rasa takut.

Aziz duduk di kursi panjang, memijat dahi. Koko Tian duduk di hadapannya sambil menuang air mineral dari teko transparan yang terletak di tengah meja. Kemudian mendorong gelas pendek itu ke sahabat lamanya.

"Minum dulu," ujar Koko Tian.

Aziz meminumnya dengan gerakan cepat. Sepuluh detik kemudian gelasnya sudah kosong dan menimbulkan bunyi kuat di meja makan.

"Kok ... lo santai banget sih nanggepin gue kek gini?" Aziz bertanya bingung sambil ngos-ngosan.

"Lo mau gue apa, Ziz? Jujur apa bohong?" Koko Tian balik bertanya.

"Anjir lo," umpat Aziz tapi tidak bermaksud marah. "Sekarang lo jujur sama gue, cepetan sebelum gue berubah pikiran."

Koko Tian menyesap air mineral untuk menetralkan kegugupannya.

"Cepetan," desak Aziz sambil mengeluarkan peralatan elektroniknya dari tas ransel.

Koko Tian tidak memedulikan desakan Aziz, lalu ia bersandar pada kursi dengan kepala menghadap lampu bergantung. Harus mulai dari mana kah semua ini?

Namun, Koko Tian kembali duduk tegak dan menyatukan kedua tangan di meja kayu jati berpelitur itu. Aziz yang merasa diliatin langsung berhenti beres-beres. Mata Aziz lurus pada sahabat dari SMA tersebut seakan siap untuk mendengar penjelasan.

"Gue tuh ...." Koko Tian memainkan kedua tangan, mengatur napas. "Lo tahu, kan, waktu kuliah dulu gue juga sambil ikut lomba model."

Aziz tetap penasaran. "Terus?"

"Singkatnya gini ..." Koko Tian memajukan badan. "Gara-gara dunia modelling di kuliah, tapi itu tidak diiringi kebahagiaan gue. Nyokap gue kena kanker payudara – waktu itu masih stadium pertengahan. Gue yang mau berhenti kuliah buat fokus ngurus beliau malah nggak dibolehin. Gue kelahi parah ... sampai saking stresnya gue akhirnya jarang pulang. Kita akhirnya mengalah karena sama-sama sepakat. Nyokap tetap berobat dan segala hal, untung aja selama ini beliau sendiri rajin bayar asuransi kesehatan pemberian pemerintah."

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang