BAB - 39: Flip The Game

48 3 6
                                    

Permainannya dengan Satya tersisa sedikit lagi, dan sungguh disayangkan waktu mau bunuh pakai pisau eh ada petugas keamanan datang. Poin keberuntungannya adalah dia bisa lolos dengan mudah, tentu ia berterima kasih pada para preman sewaan Freddi Martadinaja. Beberapa hari setelah kejadian menyerang ke Satya, Terry tidak bisa bebas ke kantor dan hanya kerja remote sama beberapa tim, bahkan menunda postingan terbaru soal naik gunung Semeru.

"Om, apa mereka tidak apa-apa yang sebagian tertangkap itu?" tanya Terry ketika mengunjungi sel Freddi. Tentu saja mereka saling berbincang di ruangan kepala sipir yang nyaman agar identitas Terry terjaga, tadi saja dia pakai kacamata hitam dan topi beanie biar aman. Memang semua sipir di sini nurut ke Freddi, tapi Terry yakin pasti ada beberapa dari mereka yang cepu.

Freddi tersenyum santai. "Saya jamin mereka tidak akan ada yang buka mulut, Ter. Lihat aja keesokan hari atau beberapa hari ke depan."

Namun, itu belum menghilangkan raut cemas dari Terry. "Seharusnya saya tidak terbakar emosi sama Vika dan langsung taruh pisaunya di tangan Satya."

"Penyesalan selalu datang belakangan, Terry. Setidaknya lihat sahabat saya goyah saja sudah bikin bahagia. Kamu pun juga, kan? Lihat Satya kelimpungan beberapa bulan ini di tempat kerjamu. Kita sudah dapat apa yang kita mau." Freddi bersandar di sofa dan menyilangkan satu kaki.

Bila dipikir-pikir benar juga, alasan Terry langsung terima Satya bekerja di kantornya agar perempuan itu bisa mengawasi dan dapat akses soal aksi apa saja yang dia lakukan selama ini. Setidaknya menghalangi beberapa temannya juga berhasil, walau ternyata Aziz selama ini pasang mirroring sehingga dia bisa akses aktivitas laptop melalui ponsel. Iya, bagian itu yang bikin kesal, dia juga kerja sama dengan Sarwo yang mana membantu awasi pergerakan Sarah – entah dia berhasil dapat perempuan itu atau tidak – hanya Vika dan Koko Tian yang tidak ia lukai.

"Tapi Om ...." Terry memajukan badan. "Kita juga tetap harus menyediakan hal-hal darurat, apalagi sejak Aziz tahu di mana laptopnya berada."

"Benar juga katamu." Freddi mengangguk setuju. "Coba kamu bermain dengan media, orang hanya percaya apa yang mereka percayai, Terry. Apalagi keluargamu juga berkecimpung di situ, dan bikin narasi untuk menyudutkan Satya dan teman lontenya itu."

Senyum Terry jadi cerah, ide ini sungguh brilian. "Om barusan kasih saya ide, terima kasih sekali lagi."

Pintu ruangan terbuka yang mana sipir mengingatkan bahwa waktu berkunjung telah habis.

Freddi berdiri lalu diikuti Terry. "Itu baru anak buah saya, saya tunggu hasilnya dan salam buat Papamu, ya."

"Baik, Om." Terry mengangguk hormat atas kepergian Freddi.

Senyum cerahnya berubah jadi bengis, menampakkan giginya yang rata. Tidak, ia tidak akan kalah hari ini, Satya belum tumbang. Untung saja Freddi Martadinaja mau membantu sekali lagi, dan beliau setuju karena selama ini yang membantu usaha Papanya maju adalah sokongan modal dari beliau jauh sebelum ditangkap polisi.

***

Memang benar bermain dengan media tidak perlu capek-capek latihan fisik. Selama tiga minggu Terry diam-diam menyiapkan narasi palsu dan foto-foto yang telah diedit ala deep fake dengan sempurna.

Untuk Sarah, hanya foto palsu baju dari para pembenci Sarah yang telah sobek dan diberi narasi kain sutera palsu. Tidak lupa foto-foto mesra dengan beberapa kliennya di koridor hotel, untuk yang ini adalah foto replika di mana pemerannya adalah mantan pelanggan Mami Zee yang juga benci dengan Sarah. Tentu saja awalnya mereka menolak, tapi iming-iming uang dan ancaman penyebaran foto mesra ke istri sah bikin luluh.

Hasilnya ....

Sungguh sesuai dengan ekspektasi Terry.

Akhirnya ia bisa bekerja dengan tenang, bisa bolak-balik ke kantor.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang