"Kenapa pada diam?"
Koko Tian dan Rahman bersiul, berjalan menjauh ke segala arah. Telinga Satya menangkap cekikikan mereka berdua. Sarah mengambil posisi di samping Satya, hanya menepuk bahu sebelum ke kamar tidurnya.
Ini pasti antara ngomongin gue atau ceng-cengin gue sama Sarah jilid dua, batin Satya dengan decakan.
"Lha kok pada misah gini, pasti ngomongin gue yang jelek-jelek di depan Sarah?" Satya mengeluarkan spekulasi.
"Iya, habisnya kalian tuh nyebelin," komentar Rahman tanpa mengalihkan kepala dari ponselnya, posisinya ada di balkon. "Mulut memang pandai berdusta, tapi tidak dengan badan dan hati."
Tawa Koko Tian menggema dari kamar mandi.
"Capek, ya, gue bilangin ke kalian kalau gue sama Satya nggak ada apa-apa." Tangan Sarah terlipat di dada, lengannya tidak sengaja bersentuhan dengan lengan atas Satya yang dilapisi kaus lengan pendek.
"Tau nih," timpal Satya dengan semangat, kali ini terdengar mendukung Sarah. "Padahal cuma saling bantu doang."
Suara Rahman perlahan jelas karena kembali dari balkon. "Bantu-bantu nanti jadi ketergantungan, habis itu jadi sayang deh."
Decit pintu kamar mandi terdengar, menampakkan Koko Tian yang melap telapak tangan dengan tisu toilet sambil menahan tawa seakan mendukung pernyataan Rahman tanpa suara.
Satya dan Sarah menahan greget itu, tapi tidak sampai marah banget.
Tidak lama Rahman dan Koko Tian kembali berhadapan dengan Satya dan Sarah lalu pamit pulang. Mereka berkata bahwa tidak perlu khawatir soalnya situasi sudah aman dan akan mengabari jika sudah sampai di apartemen Rahman.
"Gue tidur dulu, ntar ambil selimut di lemari samping buffet televisi aja deh," tutur Sarah, berjalan ke pintu kamarnya.
Bunyi bip pintu menggema tepat saat bokong Satya mendarat sempurna di sofa. Punggungnya perlahan rileks ketika sudah dalam posisi tidur dengan kaki bertumpu pada pinggir sofa berbahan kulit imitasi. Satya berusaha memejamkan mata, tapi sudah beberapa menit usahanya sia-sia. Jarinya meraba-raba kalung berbandul pisau belati, ternyata ukurannya seperti kartu memori ukuran mikro. Bola matanya juga menangkap titik merah di langit-langit apartemen Sarah yang mana bikin pria itu duduk tegak dan titik merah itu pindah posisi ke samping televisi layar datar di dinding.
"Ini batu ajaib apa pulpen pointer buat presentasi?" Kedua alis Satya bersatu. Tangannya langsung tersampir ke belakang untuk melepas kalung rantai perak tersebut, bandul belati itu memenuhi telapak tangannya.
Jari telunjuk Satya meraba ukiran pegangan pisau belati itu, motif ular naga yang meliuk seakan melindungi benda sakral dari cengkraman musuh. Gerakan itu bergerak lurus, terasa seperti campuran besi tajam dilapisi emas kuning entah berapa karat.
"Ah jadi keinget sama batunya." Tangan kanan Satya yang terbebas mengeluarkan dompet kulit Braun Buffel warna hitam kemudian menyelipkan satu jari telunjuk di sela-sela tempat kartu identitasnya. Batu merah yang ujungnya terpotong untuk menaruh di bagian lubang pegangan pisau belati itu bikin rasa penasaran Satya meninggi, terus kembali ke kalung belati di mana bandul belati itu ujungnya kayak magnet, bisa lepas pasang tanpa merusak tali kalung.
Dia teringat kejadian di lift dengan Rahman. Momen yang ia tahu adalah badannya terasa lemas seperti habis dipukulin pakai kayu dan tangan kanannya menggenggam bandul pisau belati yang perlahan mengecil.
Apa benar dia hampir membunuh Rahman?
Satya memutar ulang memorinya sambil mondar mandir balkon ke ruang televisi. Semuanya kosong melompong, sampai tangan kirinya membentuk cakaran keras. Dia tahu Rahman adalah pria yang omongannya tidak bisa difilter dan seenaknya sendiri, tapi Satya tidak akan membunuh temannya sendiri. Sudah cukup dengan kejadian Sintia yang bikin nama dia jatuh seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputasi | ✓
Mystery / Thriller[SERI PANDORA #3] (21+) Cover by: shadriella. Satya Narayan Anggara (28), adalah cowok humoris, ganteng, gampang bergaul, dan digadang-gadang menjadi penerus Grup Anggara. Sebelum itu, Satya bekerja sebagai supervisor divisi pemasaran untuk jenjan...