BAB - 33: Merajut Satu Persatu

47 1 6
                                    

"Lo kenapa senyum-senyum gitu?"

Matahari yang malu-malu masuk ke sela-sela jendela apartemen Satya tidak bikin sobat menjawab pertanyaan Tio. Kehadiran Tio di sini secara ajaib bikin Satya bisa berpikir jernih. Contohnya waktu meneliti lagi hasil rekaman dan sekarang masih bingung gimana caranya minta maaf dengan baik dan benar. Memori Satya kembali mengenang momen indah bersama Vika walau kebanyakan di kantor.

"Di tanya malah bengong dan berimajinasi." Suara Tio kembali muncul, bertujuan untuk menyadarkan si sobat.

Satya kembali ke dunia nyata tanpa kaget, menggigit roti bakar dengan selai coklat kacang buatan Tio.

"Kehadiran lo itu bawa damai banget di sini. Lo tahu nggak? Sebelum lo datang tuh auranya dah jelek aja, kemudian begitu lo datang mata gue langsung silau." Satya memperagakan tangan yang menutupi wajah akibat terpapar sinar matahari. "Silau akan beberapa solusi dari permasalahan gue, dan tenang aja akan gue selesaikan sendiri."

Tio ikut bahagia mendengarnya. "Seriusan, Sat, lo tuh sebenarnya bisa sendiri. Hanya saja lo tuh pemalas akut. Gue bangga jadinya."

Satya hanya mengacungkan jempol.

"Oh, ya, lo mau diantar ke apartemen lo apa langsung ke sekolah?" tawar Satya, "Sopirnya masih sama kok yang dulu."

Kini Tio yang menganga. "Sopir yang itu? Gile sabar banget beliau kerja sama lo, Sat. Keinget dulu lo nggak suka di kintil. Sekarang ikhlas lahir batin rupanya." Tio menyesap susu coklatnya.

"Sekarang sih sudah jadi sopirnya Tidar sama Sakti sih, Yo. Tapi kadang kalau gue ada acara spesial yang lebih darurat baru beliau bisa ngantar." Satya beranjak dari meja makan untuk membereskan berkas-berkas untuk kerja. Enaknya kerja di dunia kreatif, tidak menuntut untuk selalu pakai jas. Sementara Tio mengambil berkas bahan ajar untuk ditaruh di tas.

Mereka berkumpul lagi di foyer untuk pasang sepatu, dan Tio berkata. "Makasih atas tawaran lo, tapi nggak dulu deh, nggak usah repot-repot."

Satya hanya bisa tepuk bahu sahabatnya itu. Tio dan kebiasaannya tidak mau merepotkan orang memang tidak berubah dari dulu.

***

Sepulang kerja, Satya baru bisa menemui Vika – via telepon dengan bumbu berupa marah-marah – di warung pinggir jalan yang berada di sekitar gedung grup Anggara. Kondisinya masih tidak berubah, dan tadi dia sempat berbincang dengan pemilik warung bahwa mereka akan pindah ke kantin karyawan di gedung Grup Anggara. Satya ikut bahagia dan mengucapkan selamat, dan dilanjutkan oleh Ibu tersebut yang berdoa agar keluarganya Satya diberi rejeki melimpah. Satu hal yang bikin dia paling bahagia adalah ketika si Ibu percaya jika Satya tidak melakukan hal keji tersebut.

Makanan datang bersama Vika yang duduk di hadapannya dan tas yang ia taruh di samping. Mukanya keruh sekali setiap memandang Satya yang dia alihkan untuk sebut pesanannya ke Ibu penjual. Tangannya terlipat di dada saat Vika berhadapan dengan Satya seraya berkata. "Kenapa sih lo pengen ketemu gue? Bukannya lo jijik banget waktu itu?"

Satya menyatukan nasi pakai tangan dan potongan daging paha ayam. "Gue sudah baca ulang rekaman itu, dan ..." Ia mengunyah makanannya dulu sebagai pemanasan. "... rekaman itu sesuai dengan apa yang lo omongin."

Wajah Vika melunak, dan tersenyum tipis. "Bagus deh, akhirnya lo percaya juga sama gue."

Makanan Vika sudah datang, ia menggulung lengan baju sampai siku. Kemudian memotong daging dari dada ayam, dicelupkan ke sambal terasi segar kemudian memakannya bersama nasi putih hangat.

Satya memandangnya dengan lucu, cara makan Vika sungguh tidak berubah. Ia melanjutkan setelah tiga suapan. "Gue ... mengaku salah, salah sudah memfitnah lo yang enggak-enggak. Maafin gue, ya, Vik. Gue janji tidak akan mengulangi dan gegabah sebelum ada bukti kuat."

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang