BAB - 7: Sisi Lain Kehidupan Glamor

164 6 42
                                    

Terry merenggangkan tangannya setelah mematikan ring light duduk. Siaran langsung terkait kejadiannya bersama Satya dari keluarga Anggara cukup melelahkan, terutama pada pertanyaan yang terus berulang. Sebenarnya bisa saja dia mengadakan konferensi pers, tetapi sadar diri bahwa dia bukan artis. Rasanya, berkutat dengan laptop dengan latar belakang langit atau pohon-pohon hijau dengan kicauan burung lebih menyenangkan.

"Kembali ke artikel sponsor resort di Ubud kemarin." Terry menyalakan laptop dan membuka hasil suntingan foto halaman belakang halaman belakang kamarnya dengan dua kursi malas dari rotan dengan kolam renang transparan. Kolam renang kecil itu bahkan lebih dibilang sebagai pemandian.

Kemudian ia kembali ke draf pertama artikelnya yang tinggal sedikit lagi. Entah sudah berapa lama sepuluh jarinya menari di kibor dan sesekali menegak kopi hitam dari pantri di ujung ruang kerjanya dekat pintu keluar sejak satu jam yang lalu sebelum siaran langsung.

Begitu kata selamat tinggal tertulis dengan baik, senyum Terry mengembang sempurna. Tepat saat ia selesai memindahkannya ke kolom tulisan baru blog-nya, pintu ruang kerjanya terketuk. Sambil memerintahkan masuk, perempuan manis itu menyalin hasil suntingan foto ke beberapa slot artikel tersebut.

"Lo kalau mau bikin kopi sendiri sudah tersedia lho."

Tamunya malah duduk di sofa yang berhadapan dengan meja kerja Terry, tetapi posisi duduknya memunggungi perempuan berambut sebahu dengan poni depan itu. Terry menutup laptopnya kemudian menyusul, dan si tamu berpindah posisi ke kursi panjang samping. Mereka berdua saling menanyakan kabar dan kehidupan masing-masing. Keduanya juga sempat membahas kejadian ciuman dengan Satya di lambe tempe.

"Video itu lagi, Vik," keluh Terry. "Kan gue sudah bilang di video langsung klarifikasi barusan saja."

"Dia itu rekan kerja gue di kantor." Vika mengibaskan rambut coklat terang panjangnya ke belakang.

Tawa Terry membahana. "Dunia sungguh sempit memang, tapi siapa sih yang nggak kenal Grup Anggara?"

"Sayangnya gue kesel banget sama tingkahnya dia yang ngeremehin lo, Ter," sungut Vika. "Gue nggak bisa lihat sahabat gue dilecehkan gini."

Senyum miring Terry terbit. "Santai aja kali, gue juga mabuk waktu itu."

"Tapi gue tetap nggak terima lho." Vika masih kelihatan berapi-api walau tidak sekeras tadi. Vika tidak habis pikir dengan tingkah Terry yang begini.

Terry beranjak untuk membuatkan teh kamomil di pantri. Teh yang kata orang-orang tidak terlalu wangi, tapi Vika suka. Terry menambahkan satu sachet gula nol kalori, menurutnya sedikit manis dapat merilekskan tubuh. Bau khas kamomil tertangkap oleh penciuman Vika saat dihidangkan tepat di depannya. Benar saja, sejenak napas sahabatnya yang seksi itu sudah teratur.

"Lo tahu aja kesukaan gue." Vika menaruh kembali cangkir porselen pinggiran emas itu.

"Iya dong, dari pada lo ngomel melulu." Terry menanggapinya dengan cekikikan halus, yang membuatnya terlihat anggun ala putri raja.

Vika hanya geleng-geleng maklum.

Terry menyilangkan kaki dengan kedua tangan bertumpu pada pegangan sofa beludru hitam lebar. "Yang penting itu bikin warganet percaya sama kita, Vik. Walau belum cukup sih."

"Kenapa lagi memangnya?"

"Artikel sama resort itu postingan sponsor terakhir gue."

Vika terbelalak, tidak percaya sama sekali. "Gile lu, sponsor lainnya batal semua gitu gara-gara ini? Wah kurang ajar Satya ini." Ia berkacak pinggang dengan hidung kembang kempis dan bibir terpilin. Sorot mata Vika jauh lebih tajam seperti berhadapan dengan monster yang hobi terkam secara tidak langsung.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang