Akhirnya sampai juga di tujuan.
Sosok itu hanya menampakkan punggung, kepalanya menengadah ke sebuah rumah yang terletak agak mepet ibu kota. Ia menoleh ketika terdengar pintu mobil tertutup, kacamata hitam besar menutupi sebagian wajahnya. Terry dengan senyum ceria khasnya langsung berlari dan memeluknya erat bagaikan sudah lama tak jumpa. Bahkan kaki mungil Terry melayang seraya berputar, untung saja tidak lama sepatu keds kuning putihnya menginjak tanah berpaving.
"Ah sudah lama tak bertemu," kata orang itu. "Dan lagi-lagi kamu selalu datang padaku di saat genting seperti ini, Ter."
Terry menghela napas, rasa bersalah sedikit menggelayutinya. "Habis, aku bingung bagaimana hubungi kamu. Terus sekarang juga kamu susah dihubungi."
Senyum manis muncul dari sosok tersebut. "Baiklah, kalau gitu akan aku tunjukkan sesuatu ke kamu."
Rumah besar bernuansa minimalis dengan lantai marmer menyambut pandangan Terry. Namun, tujuan mereka bukanlah bersantai. Walau ruang keluarga dengan televisi layar datar besar dan sound system di mana kualitas suaranya setara bioskop itu menggoda Terry. Sayangnya itu tidak terjadi karena Terry mengekor orang tersebut turun tangga. Cahaya warna putih perlahan jadi gelap, kaki Terry bahkan sudah berpijak di lantai beralas batu. Sisi kiri dan kanan tetap berlapis dinding yang setengahnya dilapisi keramik, penerangannya juga pakai lampu kuning yang bergantung pada plafon.
Langkah mereka berdua berhenti di pintu yang pakai kode sandi. Terry mengamati pola orang itu saat memencet beberapa angka dan pintu terbuka sempurna.
"Silakan masuk." Orang itu memberi gestur pada Terry untuk masuk lebih dulu.
Terry menutup mulutnya tidak percaya. "Ini ... Ini."
Sosok itu yang mengenakan jaket varsity warna hitam putih berjalan lebih dulu lalu merentangkan tangannya sambil berputar. "Kejutan, aku memang renovasi beberapa bagian aja dari rubanah ini. Namun, bagian pentingnya tidak ku ubah karena itu bagian dari tempatmu untuk berpikir dan–"
Ucapannya langsung dihentikan oleh Terry yang melingkari pinggangnya dan membenamkan kepalanya di dada sosok itu. Terry memang tersenyum bahagia, tapi ia tak bisa membohongi diri sendiri bahwa matanya sudah berkaca-kaca. Satu tangan dari sosok itu mengelus kepala Terry lalu bergumam, "Aku jadi lega, kamu baik-baik saja."
Kepala Terry terangkat, mengerjapkan matanya yang lucu sekali di mata Orang Itu. "Hey aku dari kemarin baik-baik saja, dan semua berita itu tidak mempengaruhiku."
Dari balik kacamata hitam, dia mengangkat alis dan tersenyum miring. "Kalau tidak mempengaruhimu, kenapa kamu sampai rela pakai rencana b?"
Terry melepas pelukan lalu berkacak pinggang, bibirnya manyun tanda tidak terima. "Itu karena ... aku tidak teliti dalam giliranku bermain. Kesal sih, tapi nggak lama kok."
Orang itu menggeleng kepala, perempuan di hadapannya sungguh tidak tertebak. Selama yang dia tahu, jika Terry kalah sedikit maka akan berubah jadi perempuan tantrum maksimal tiga hari. Sekarang malah tidak ada tantrum dan drama, apa mungkin gara-gara satu hal yang ia kasih tahu ke Terry beberapa hari lalu sebelum ia ditimpa masalah?
Saking kepikirannya, Ia tidak sadar bahwa Terry menarik pelan tangannya untuk duduk di sofa panjang. Sofa sangat empuk yang bisa diluruskan, dan begitu mendaratkan bokong Terry menempelkan kepala di bahu Orang Itu dengan tangan mereka yang bertaut.
"Rencana b kita yang menolong, dan memang datang di waktu yang tepat," ujar Terry, baru menjawab alasan sesungguhnya atas pertanyaan tadi.
Sudah Ia duga, bibirnya mengecup pelan pucuk kepala Terry. Perempuan itu makin merapatkan tubuh padanya seakan tak mau lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputasi | ✓
Mystery / Thriller[SERI PANDORA #3] (21+) Cover by: shadriella. Satya Narayan Anggara (28), adalah cowok humoris, ganteng, gampang bergaul, dan digadang-gadang menjadi penerus Grup Anggara. Sebelum itu, Satya bekerja sebagai supervisor divisi pemasaran untuk jenjan...