BAB - 47: White Room & Execution

52 2 0
                                    

"Anjir kenapa ditarik ke sini lagi, sih," keluh Satya dengan gerakan kepala ke kanan dan kiri.

Fenomena kali ini aneh sekali, Satya tidak dalam kondisi tidur, tidak juga memanggil Manakar. Matanya melirik pada tangan kanannya yang memegang pisau belati, ujung pisaunya ada setitik cairan merah. Perlahan cairan itu menetes ke lantai ruang putih kemudian beberapa detik menghilang.

Baru maju dua langkah, ada dua sosok yang berdiri di sana seakan menunggu Satya. Dari kejauhan tampak seperti titik hitam, hingga bikin Satya penasaran. Semakin dekat, sosoknya terlihat jelas, itu bikin Satya mengerang kecil seakan menumpahkan keluhan.

"Kerjaan lo, ya, kembaran reinkarnasi laknat," serbu Satya kasar seraya berlari mendekat, "Lo kur—"

Sosok di sebelahnya berdeham dengan suara robotik.

"Itu bukan karena gue," ujar Manakar dengan memutar bola mata. Jempolnya mengarah ke sosok di sebelah kanannya. "Tapi Bos Bertudung yang mendesak gue buat manggil lo."

"Oh." Satya berujar singkat, kemudian menoleh pada Pandora. Sosoknya kali ini terlihat melayang, apa dia tidak pakai sepatu waktu ke sini? Pikir Satya.

"Yang ke sini tuh bayangan saya, bukan saya sendiri secara fisik," kata Pandora, "Tapi tenang saja, saya dalam kondisi duduk semedi di depan cermin ajaib. Jadi tenang aja, saya masih belum jadi hantu beneran."

Manakar menutup tawanya yang hampir nyembur.

"Iya iya saya tahu," balas Satya senewen, setengah kesal dengan sindiran tak langsung Manakar. Kemudian beralih ke Pandora lagi, "Sekarang, ada apa Anda kemari, Tuan Anonim?"

Kepala Pandora yang ditutupi hoodie hitam dan topeng merah putih melirik ke pisau yang masih setia di tangan Satya. "Kenapa kamu tiba-tiba keluarin pisau dan gesekin ke pinggangnya Terry? Apa kamu lupa sesuatu soal perjanjian utamamu dengan Manakar?"

Helaan napas Satya keluar, mengangkat pisau belati yang bekas darahnya Terry makin sedikit sebelum menjawab. "Gue memang nggak mau bunuh Terry, hanya sebagai pancingan saja biar sisi jahatnya keluar gitu. Namun–"

"Kamu kebanyakan alasan, Sat. Padahal ini keinginanmu sendiri yang minta keluar, bukan dari Manakar, kan?" potong Pandora.

Satya mengerang frustrasi. "Ini gue nggak membual sama sekali, ya, Tuan Anonim?" Bagian terakhir emang dia sengaja ngomong gitu buat sindiran.

"Baiklah, baik. Anggap saja kamu jujur." Pandora mengangkat tangan robotiknya, menyingkap lengan robotiknya akibat lengan hoodie-nya terlalu lebar. "Sekarang lanjutkan."

"Selain buat gertak Terry, ini juga darurat soalnya premannya Terry gila banget berusaha bunuh gue. Makanya sampai tiarap gitu, ya akhirnya gue diam saja dan ternyata perempuan kampret tuh bilangnya sengaja meleset biar gue diam. Langsung aja gue pegang erat tuh belati, tapi gue tahan-tahan nih biar nggak refleks keluar."

Satya memberi jeda untuk bernapas, walau di ruang putih tetap saja ngomong panjang lebar bikin napasnya ngos-ngosan. Untung saja Pandora dan Manakar tetap mendengarkan, walau Satya tahu Manakar dari tadi nahan ketawa seperti nahan kentut.

"Ya sudah kami deket-deketan lagi di mana gue sudah jijik banget. Eh ternyata dia keluarin pistol mini di pinggang gue yang bikin gue refleks nempelin belati di pinggangnya. Terus nih anehnya ...." Kelanjutan cerita Satya bikin penasaran, bahkan sampai sedikit memajukan kepala. "Ada suatu dorongan yang bikin tangan gue menggeser belati dan gue terlempar deh ke ruang putih tanpa aba-aba kek gini. Kesel banget, kan seru-serunya langsung dipotong kek sinetron aja."

"Sudah nih?" Pandora memastikan apakah cerita Satya sudah benar-benar selesai atau belum.

Anggukan tanpa kata dari Satya adalah jawabannya.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang