BAB - 40: Additional Big News

58 3 4
                                    

Mereka berdua buka mata.

Ternyata sisa para peneror itu sudah pingsan, tapi tidak ada darah mengalir dari perut atau kepala. Satya dan Sarah saling bertatapan, pertanyaan mulai muncul di benak masing-masing. Namun, Satya tarik tangan dan keburu memaksa Sarah bangkit dan kini mereka bersembunyi di gudang sempit yang muat dua orang saja bersama sapu pel dan kawan-kawan.

"Gue yakin pasti antara pakai peluru bius atau peluru karet. Ini pasti perbuatan pengawal keluarga lo," bisik Sarah.

Satya semakin heran akan analisis mantan pacarnya. "Bisa jadi sih. Kata Mas Anton mereka emang dipasang buat jagain kita  24/7 sampai tujuan. Eh, tapi, kok lo bisa tahu model-model tembakan gitu sih?"

"Ya elah, Sat. Mantan klien-klien gue, kan, ada yang pemasok dan penjual senjata. Dia juga kasih tahu gue banyak hal tentang benda mematikan itu kalau lagi nggak sesi bercinta."

"Lo ini lonte yang berfaedah dan berwawasan juga, ya." Satya berdecak heran, dunianya sudah terlalu ajaib. Ternyata hidup mantan pacarnya pun tidak kalah ajaib bin menakjubkan.

Sarah mengibaskan rambut bergelombangnya ke belakang. "Emangnya jadi Lonte harus iya-iya aja gitu? Semakin gue berwawasan, maka tarif gue semakin mahal. Kadang tuh klien kalangan atas nggak cuma minta dilayani, tapi dengerin curhatnya yang banyak jenisnya itu termasuk bahas senjata. Nah, di sini juga gue punya aturan kalau delapan puluh persen sesi bercinta gue yang mendominasi, biar meminimalisir kehamilan tidak terencana atau penyakit menular seksual lainnya. Kondom mereka aja gue periksa dulu, iya, padahal sudah mau ke puncak masih waspada aja gue." Momen yang bikin Sarah tertawa miris lagi.

Jarak mereka berdua terkikis sama sekali, tapi belum ada aksi apa pun.

"Walau kelihatan serapi apa pun, pekerjaan ani-ani alias lonte gini, ya, tetap hina." Sarah menghela napas, senyumnya kali ini bertambah dengan sedih. "Orang modelan Om Sarwo tuh nggak kalah banyak, bahkan lebih parah. Kadang ada anak Mami Zee yang sampai hiatus berbulan-bulan dan akhirnya pergi beneran tanpa skill apa pun. Itu juga yang bikin kami semua disuruh Mami Zee setidaknya harus punya bakat kemampuan lain plus nggak boleh ninggalin kuliah. Tujuannya biar kita nggak diremehkan orang, berat memang jadi perempuan."

Satya tidak bisa berkomentar apa-apa lagi. Tangannya hanya bisa mengelus kepala Sarah dengan halus dan senyum manis.

"Senyum itu lagi." Sarah sedikit memalingkan wajah, agak tersipu. "Nggak akan mempan lagi di gue."

"Emang senyum gue manis dari dulu." Satya berkata dengan percaya diri selangit. "Lo-nya aja yang gengsi abis."

"Eh tapi jujur ya." Sarah buru-buru mengalihkan topik pembicaraan. "Kita tuh sudah lama nggak bicara dari hati ke hati gini."

Senyum decakan Satya terbit. "Perasaan ini pertama kalinya kita ngomong model gini, dua kali malah. Terakhir di hotel waktu itu waktu yang lo curhat tentang Pandora."

"Oh iya bener juga." Sarah tertawa canggung.

Tiba-tiba Satya menempelkan jari telunjuk di ujung bibir, memerintahkan Sarah untuk diam dan pasang telinga rapat-rapat. Oh, ternyata ada langkah kaki, ada satu, dua, tiga. Sarah langsung ambil tongkat pel, dan Satya ambil sapu ijuk. Keduanya ambil di posisi di sisi kiri dan kanan pintu, dari luar sudah terdengar ketokan pintu kamar.

Ketokan itu sudah terdengar jelas ketika Satya memegang gagang pintu.

"Siap?"

Sarah mengangguk mantap.

Begitu hitung mundur, mereka berdua langsung  mengangkat senjatanya keras-keras bersama teriakan yang lebih nyaring. Teriakan ini adalah teriakan perempuan, dan Satya hafal betul salah satunya. Sementara ujung tongkat pel Sarah hampir mengenai seseorang.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang