BAB - 20: Power of Anger

71 4 36
                                    

"Kemana tapi, Yan?" tanya Koko Tian penasaran.

Satya memberi alamat apartemen lewat pelacak lokasi yang tersambung di radionya Koko Tian. Suara gps muncul lalu mengarahkan mobil mereka bertiga untuk beberapa meter lagi keluar dari tol dalam kota. Rahman dan Satya kembali menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti.

"Tenang aja lagi, teman-teman." Koko Tian berkata seakan bisa baca pikiran mereka berdua. "Ini mobil hampir nggak pernah kupakai, hanya panas mesin sama maju mundur setiap hari. Jadi nggak ada yang tahu sama sekali."

"Mobil lo berapa banyak sih, Ko? Gile ye ngelonte aja bisa dapat segini," ucap Rahman, bersiul santai.

Suasana hening dalam sekejap, tapi langsung dipatahkan sama Satya. "Gile bacot lo parah banget sih."

"Lha gue bener, kan?" Lagi-lagi Rahman dengan pembenarannya. "Emang sekarang kayaknya kita nggak usah kerja keras, cukup jual badan doang langsung laku."

"Heh," sergah Satya. "Lo picik banget jadi teman, nggak semua orang yang jual badan laku secara instan. Semua pekerjaan punya risiko kali."

"Iya gue tahu itu, tapi–"

"Lo sendiri, kerjaan jualan suku cadang motor lo gimana?" potong Satya sembari mengibsakan tangan. "Penjualannya stabil, kan? Ngelonte termasuk bisnis, dan perjuangannya juga nggak main-main."

Herannya Koko Tian kali ini adalah komentar Satya yang terkesan membelanya. Diam-diam senyumnya tercetak lalu buru-buru ia tutupi dengan tangan yang menopang pintu mobil. Kemacetan lampu lalu lintas tidak dianggapnya beban kali ini.

Bagi Satya sendiri, bisnis model apa pun tetaplah bisnis. Tidak boleh ada yang menghakimi. Ini juga bikin dia merasa aneh dengan diri sendiri, padahal bulir-bulir air perlahan tumpah mengenai kaca mobil.

"Terserah lo dah." Rahman mengibaskan tangan sambil merebahkan diri di jok mobil dengan dua kakinya setengah ditekuk.

Mobil Koko Tian dengan lincahnya menyalip jalanan begitu ada kesempatan. Tidak lama kendaraan roda empat tersebut sampai di pos pembayaran parkir otomatis. Setelah melambaikan tangan, kendaraan putih itu melaju ke rubanah melalui tikungan. Begitu menemukan slot parkir tersisa, mobil Koko Tian mengambilnya dengan sempurna. Decit ban menggema sebelum mesin mobil mati sempurna. Saat itu Satya mengirim pesan ke Sarah bahwa dia akan mampir ke rumah bersama Koko Tian dan Rahman, dan balasannya hanya huruf y.

Satya memimpin jalan dengan Koko Tian berada di tengah dan Rahman di belakangnya. Koko Tian kembali memerintahkan mereka berdua untuk cek situasi. Ketika dirasa aman, mereka bertiga bisa melalui proses keamanan setelah sekuriti menghubungi nomor apartemen Sarah. Tanpa sepengetahuan Satya, Koko Tian dan Rahman beradu pandang diiringi senyum culas.

"Masih belum move on beneran dia ini," celetuk Rahman ketika mereka bertiga sudah naik ke lift dan bergerak naik ke lantai khusus tempat apartemen Sarah berada.

"Bukan gitu, ah, cuma dia doang yang bisa nolong kita di saat genting ini," balas Satya santai.

"Halah ntar juga lama-lama kembali jadi sandaran hati," sindir Rahman diiringi cekikikan.

Koko Tian sendiri juga ikutan cekikikan.

"Salah mulu gue," ucap Satya sewot. "Sampai kapan pun juga gue nganggep Sarah sebagai teman doang dah. Lo kepo mulu dari tadi, gini ini orang jablay."

"Gue memang jablay, tapi nggak gengsian koyok Kon," balas Rahman tidak percaya, "Kenapa kamu malah ke apartemennya Sarah? Padahal lho tempatmu sendiri bisa. Masa orang kaya nggak punya tempat tinggal."

Hinaan Rahman bikin panas menjalar di telinga dan tubuh bagian atas Satya sehingga tangan pria itu terkepal erat. Dia memang sengaja diam selama ini bila di depan pertemanan ini karena Satya memberi kesempatan mereka bicara walau dari dulu selalu banyak mencemooh. Ujung kuku Satya menancap pada pergelangan tangan, lehernya terus menerus menahan perih diiringi matanya yang memburam lalu terbuka paksa.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang