BAB - 43: (Failed) Strike One

50 3 7
                                    

Lima orang dan salah satu perwakilan dari keluarga Vika mendengarkan penjelasan dokter dengan khidmat, bersama dengan polisi di belakangnya. Satya yang baru datang hanya tertunduk lesu, Aziz dan Sarah – Rahman dan Koko Tian tidak bisa ikut karena urusan mendadak — hanya bisa duduk di sebelahnya tanpa melakukan apa-apa. Samar-samar pendengarannya mengatakan bahwa Vika mengalami luka berat saat perjalanan ke kantor polisi untuk laporan tahanan. Sekarang Vika lagi dalam kondisi kritis dan lagi di ICU.

Satya berdiri untuk mendekat ke lingkaran pembicaraan yang mulai menyebar saat si perwakilan keluarganya Vika itu menatap tajam.

"Say–"

Ternyata orang itu pergi ke ruang ICU, Satya hendak menyusul tapi ditahan oleh pegangan Sarah dan Aziz ke masing-masing bahu Satya. Mereka berdua kompak geleng kepala, dan bikin Satya kembali duduk di ruang tunggu.

Satya mengacak rambutnya, kemudian menutup mukanya untuk meredam teriakan bercampur tangis. Badan Sarah dan Aziz otomatis bergeser dan pasang headset masing-masing, mereka juga jawab rasa penasaran orang-orang dan perawat yang lewat – untung area ruang tunggu ini tidak bersatu dengan poli dan rawat inap – dengan perkataan bahwa ia lagi frustrasi dan bertingkah aneh.

"Untung aja teriakan lo ada campuran nangisnya, biar dibilang gila sekalian nggak masalah dah," gumam Sarah setengah lelah. Tadi saja dia ikutan kaget dengan apa yang terjadi sama Vika gara-gara dikasih tahu Satya saat pengerjaan pesanan dan kepengurusan tokonya lagi numpuk, dia ikut karena tidak tega dan takut jika sang mantan berbuat kehebohan. Untung saja yang bawa kendaraan Aziz, jadi tidak ada kejadian aneh-aneh.

"Sudah lega?" Itu Suara Aziz yang menenangkan ketika Satya tidak tutup muka lagi.

Keahlian menghibur Sarah sungguh minus, tapi setidaknya dia tidak munafik. Perempuan itu kembali mendekat ke Satya.

"Gue yakin lima ratus persen ini kelakuannya Terry," ujar Satya di tengah sesenggukan dan suara serak.

Sarah mengeluarkan botol minum dari tas, membukanya lalu menyodorkan ke Satya sama beberapa lembaran tisu yang ia tarik dari tempatnya. "Nih lap dulu ingus sama minum. Jijik banget lihatnya."

Aziz menahan kekeh, Satya menerimanya dengan wajah sewot tapi matanya masih basah oleh sisa air mata.

"Lo temen macam apa sih, Sar?" protes Satya dengan mengerucutkan bibir.

"Temen yang nggak tahan jijik," balas Sarah dengan sinis. "Cepetan lap ah, kasihan baju polo ratusan juta lo itu."

Air minum berukuran lima ratus mili itu sudah tinggal setengahnya saja, memang benar nangis dan marah butuh tenaga. Tangan Satya melap ingus dan sisa air mata pakai tisu tadi. "Sialan, gue bener-bener yakin ini kelakuannya Terry."

"Bener banget," sahut Aziz mantap. "Pola kecelakaannya persis gue, bedanya luka gue nggak separah Vika. Mana laptop gue hilang nggak karuan, untung aja gue pake mode cermin dan dibantu polisi dan Om Panji bisa langsung ketemu." Kepala Aziz mendongak lalu mengangkat telapak tangan seperti berdoa. "Sama makasih juga ke asuransi kesehatan kantor gue."

"Ya ya ya."

Sarah merebut botol minumnya yang tadi dipegang Satya untuk meneguk sisanya sampai habis. Punggungnya bersandar pada sandaran kursi, otaknya berputar sekaligus berkeluh kesah kapan semua drama ini berakhir? Mendadak leher kaku dan kepalanya berputar, Sarah berusaha menurunkan energi marah karena tidak mau mengidap hipertensi lebih cepat.

"Lo kenal Om Panji dari mana?" Ucapan Satya yang terdengar aneh bikin Sarah menegakkan tubuh.

Aziz tampak gelagapan, lalu menggaruk leher. "I-itu ...."

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang