BAB - 18: Confidential Leaked (1)

53 1 20
                                    

Rahman: Woy, Aziz msk rumah sakit

Rahman: Katanya kecelakaan.

Rahman: Buruan ke sini, gw lg sama orang tua dan pacarnya.

Satya yang lagi memeriksa statistika demografi pembaca blog-nya Terry refleks melebarkan mata. Mata Satya tertuju pada jam tangan Rolex yang menunjukkan pukul dua belas tepat. Dia juga dapat kabar dari Rahman lagi kalau sebaiknya menjenguk pukul empat sore.

Rasa cemas dan panik mulai menggelayuti Satya, karena seingat dia Aziz adalah orang yang selalu berhati-hati. Memang dari dulu dia dan para gawai kesayangan tak pernah terpisahkan, tapi dia selalu tahu situasi kecuali jika tugas kantornya mepet dengan tenggat waktu. Bibir Satya sedikit tergigit, kembali menghalau rasa cemas tersebut.

Tidak mungkin, anjrit Aziz kenapa lo harus kecelakaan sampek gini sih? Lo nggak becus gimana ini kerjaan gue? Padahal tinggal sedikit lagi terungkap siapa badan perempuan yang terlibat di kejadian pembunuhan Sintia itu. Dari dulu harusnya gue kerjakan sendiri, nggak usah pakai bala bantuan segala. Kampret memang.

Satya memutuskan untuk fokus ke pekerjaan, Terry sudah menunggu hasilnya. Ketika sudah klik kirim di laman surel, rasanya lega. Terry memang butuh data demografi pembacanya untuk mengkalkulasi postingan tips travelling berikutnya, apalagi rencana mendaki gunung Semeru tetap berjalan menurut pertemuan sesama tim minggu lalu.

Sejauh ini kerja di tim blog-nya Terry menyenangkan, lingkungan kerja yang awalnya canggung dan banyak vibe negatif lama-lama jadi asyik dan seru. Terry sendiri menghargai karyawannya dengan membelikan banyak makanan setiap pertemuan mingguan dan bulanan. Kantornya sendiri masih kontrak di salah satu ruko mewah di Jakarta Selatan setelah pindah dari rumah pribadi Terry beberapa bulan lalu, tapi ruko tersebut milik Grup Mahendra. Kantornya sendiri tidak dibatasi dengan kubikel, hanya delapan meja bundar dengan beberapa PC, terus dilengkapi dengan fasilitas pantry melimpah dan ruang istirahat juga. Blog Terry sendiri makin ramai sejak membuka laman kontributor yang masih satu niche, tapi tetap saja harus ada kurasi dari editor dan Terry sendiri.

Kabar tentang Terry yang akan mendaki gunung Semeru sukses menghebohkan warganet sampai-sampai tim manajer sosial media bingung membalasnya. Perkembangannya sudah sampai ke tahap tanggal yang ditentukan, yaitu sekitar bulan delapan karena bukan musim hujan. Ketika ditanya tim mana saja yang ikut waktu pertemuan tadi, Terry hanya bilang masih memutuskan siapa saja dan nanti akan diumumkan di surel masing-masing.

Menjelang jam pulang kerja, Satya bergegas menuju pantry untuk mengambil teh melati. Terdengar derit pintu ketika cairan di mug Satya berubah jadi hitam kecoklatan.

"Oh ternyata Bu Terry." Satya tersenyum tipis, demi menjaga profesionalitas dia tidak pernah memanggil pakai nama selama jam kerja.

Terry mengisi gelasnya di dispenser lalu menyusul duduk di hadapan Satya yang terpisah sama meja kayu. "Tumben mukamu kayak gitu, Sat. Kamu lagi ada masalah?"

Rasa bersalah kembali menyusup di diri Satya, seandainya dia tidak meminta Aziz waktu itu. "Hanya ada masalah pribadi aja, Bu Terry. Jangan khawatir, ini tidak akan berpengaruh ke pekerjaan. Saya sudah mengirimkan laporan dari anak statistika soal demografi disertai catatan ide pemasaran untuk para kontributor ke emailnya Ibu."

Terry tersenyum geli sambil menyesap air mineral. "Aslinya agak cringe aja kamu manggil aku pakai sebutan Ibu, sudah ah nggak usah panggil Ibu, panggil nama aja kek."

"Ya jangan dong, Bu." Satya menggerakkan tangan, tanda menolak. "Nanti nggak enak sama tim lain, soalnya saya jadi murid spesial begitu."

"Hei, Sat, kamu sudah hampir empat bulan di sini masa nggak perhatiin anak-anak lain manggil saya gimana di setiap pertemuan bulanan?" Terry malah terkekeh, kembali melanjutkan sesapan air mineral.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang