BAB - 1: Pesta & Belati Mini

783 40 142
                                    

Satya meregangkan tubuh dengan tangan ke atas, sedikit bunyi krik terasa rileks. Sudah hampir delapan jam dia berkutat di depan computer. Berkas-berkas di sebelahnya masih butuh ulasan, syukurnya tinggal tiga saja. Sebelum melanjutkan, dia berdiri untuk melipir sejenak ke pantry yang letaknya dekat toilet. Seliter air mineral di meja kubikelnya saja tidak cukup untuk menaikkan energinya, Satya butuh yang lebih kuat.

Pantri tempatnya dia kerja memang agak berbeda di lantai lain, karena selain lebih luas. Di sana juga para OB dan petugas kebersihan bersantai sekaligus bergosip. Mereka juga bisa berbaur dengan karyawan, bahkan Satya sering mengamati mereka berkumpul dalam satu meja dengan topik utama rumor-rumor sekitar kantor. Satya sendiri sih tidak ketinggalan, selain menyimak ia juga ikut menyumbang satu berita. Bedanya sih rumor yang keluar dari bibir tipisnya berdasarkan apa yang ia lihat dan dengar sendiri.

Namun, suasana langsung senyap begitu engsel pintu pantry berputar.

Satya memandang heran rekan kerja dan para OB yang melipir ke segala arah. Ada yang pura-pura cari sesuatu di loker, pergi ke toilet, sampai nungguin air panas meletup-letup di panci untuk bikin mie instan. Tangan Satya terulur ke gantungan gelas putihnya di atas bak cuci piring lalu menuangkan cairan hitam di atas teko.

Baru dua teguk, seseorang menarik lengan Satya lalu mendudukkannya di meja makan pantry. Pria tampan itu mengernyitkan dahi, "Ada apa sih, Pak Ton?"

Pak Ton si OB senior duduk di hadapan Satya, kepalanya berputar ke segala arah sebelum buka suara. "Memang benar, Sampeyan putranya Pak Heri?"

Mata Satya melebar seketika, tapi sedetik kemudian raut wajahnya kembali tenang dengan senyum manis. "Memangnya kenapa, sih, Pak?" tanya Satya balik. Dia lebih ke penasaran dari pada terkejut.

"Itu, Pak. Orang-orang pada kaget soalnya. Kok putranya Pak Heri jadi pegawai, bukannya jadi jajaran direksi."

Satya menghela napas, entah berapa kali kalimat itu selalu terdengar di semua kondisi. Dia sendiri sudah malas tanggapin satu persatu kayak narasumber diincar wartawan. Kini, ia paham kenapa Nira – sahabatnya dari SMA – selalu berusaha menghindar dari kerumunan mereka kecuali terpaksa seperti menangani kasus perceraian artis atau konglomerat. Pertanyaan mereka semua kebanyakan selalu keluar topik, tidak heran juga Papi selalu selektif terhadap wartawan. Sejauh ini, Papi akrab dengan majalah Indonesia Tatler dan SWA, karena dua majalah tersebut selalu memasukkannya dalam daftar sepuluh orang terkaya di Indonesia. Kemudian pertanyaan mereka selalu lolos kurasi Papi sendiri.

"Biarin aja, Pak. Mereka ngomongin saya, dosa saya ditransfer ke mereka." Satya tertawa miris sambil menyesap kopinya.

"Oh gitu, ya, Mas," balas OB itu dengan manggut-manggut seperti dapat pencerahan dari pemuka agama.

Satya tahu, suatu hari orang-orang akan tahu siapa sesungguhnya dia. Kadang, ia rindu momen-momen bersama sahabatnya di New York. Di situ, Satya bebas jadi dirinya sendiri, berpesta semalam suntuk setiap akhir pekan, membantu Nira besarin kontennya di akun Moon Rise dengan dirinya sebagai pengulas minuman di berbagai klub malam sampai tutorial perawatan kulit, sampai road trip ke Southampton berempat pakai mobil sewaan waktu musim panas dua tahun lalu untuk menghibur Nira yang waktu itu berduka.

Sekarang masa-masa itu sirna, Ibu kota bikin mereka bertiga sibuk ke rutinitas semula. Kecuali Obi yang sempat kembali ke Indonesia sebentar untuk menyelesaikan masalah keluarganya sekaligus penelitian, dan sekarang kembali ke New York untuk melanjutkan disertasinya.

Perubahan pada suasana kubikel ruangannya terasa serratus delapan puluh derajat, padahal hanya jeda istirahat saja. Satya jadi malas untuk nongkrong bareng temannya di kantin rubanah kantor atau warung nasi lalapan di gang sebelahnya, tempat dia bisa merokok dengan bebas.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang