"Ah, kamu rupanya."
Suara robotik itu bikin Aziz lega sedikit. Matanya melirik ke segala arah, setelah memastikan penjaga itu tidak mendengar baru ia berbisik. "Tuan Pandora, mohon maaf mengganggu waktunya. Saya mau bertanya, apa pesan saya sudah tersampaikan ke Anda melalui Pak Panji?"
"Sudah, Ziz. Kamu nggak usah khawatir. Pacarmu sudah menyerahkan ponselnya ke Panji, dan kita tinggal tunggu aksinya bagaimana. Nanti ia akan bicara melalui Pak Roy, kamu sabar sedikit ya."
"Tapi, Tuan Pandora." Aziz tidak bisa menghilangkan gundahnya walau rencana dadakannya berhasil. "Saya butuh kepastian secepatnya dan tidak mau kalah dari perempuan licik itu lagi. Setidaknya saya harus tahu lokasi persembunyian dia sebenarnya kepada Satya beserta kejanggalan."
"Aziz, kamu harus tenang, ya." Terdengar decakan dari sang Anonim, memandang masalah besar ini seperti bisa dibasmi hanya pakai racun tikus yang ditaruh di lubang tembok rumah yang biasa dilalui binatang bercicit tersebut. "Kamu turuti prosedurnya, paling lama dua puluh menit bantuan yang kamu harapkan sudah datang."
Aziz menghela napas. "Baiklah saya tunggu, terima kasih Tuan Pandora."
"Sama-sama, semoga beruntung, Ziz."
Ternyata bantuan yang dimaksud datang tidak sampai dua puluh menit. Di ruang interogasi ternyata Pak Roy menjawab pertanyaan si Polisi disertai bukti-bukti bahwa Aziz tidak mencuri melalui beberapa tangkap layar dan obrolan klien yang minta bantuan Aziz. Uang-uang yang Aziz ambil juga tidak benar-benar dicuri, ia hanya memainkan nominalnya saja sebagai ancaman pihak lawan untuk tidak ganggu kliennya lagi. Tidak hanya itu, Pak Roy membantunya beri alibi bahwa waktu kejadian pencurian itu Aziz lagi istirahat di rumah disertai foto kumpul keluarga. Polisi itu berpikir sebentar sebelum memproses bebasnya, tidak lupa menjadikan Pak Roy jadi jaminan.
Hampir satu jam Aziz mengambil napas sebanyak-banyaknya di pelataran kantor polisi.
"Saya juga dikasih kabar sama Panji bahwa mereka sudah menemukan lokasi laptop kamu yang dicuri sama komplotan perampok itu, dan mereka bukan perampok biasa melainkan orang suruhan Freddi Martadinaja yang disewa oleh Terry." Pak Roy berkata dari belakang Aziz dengan memukul pelan pundak sang Klien.
Senyum Aziz terbit. "Terima kasih, Pak. Maaf jika saya merepotkan Bapak dan keluarga Anggara selama ini."
"Tidak tidak, justru mereka berterima kasih padamu. Sudah, ya, nanti Panji sendiri akan mengabari kamu untuk mengembalikan laptop," kata Pak Roy sebelum benar-benar pergi.
Setidaknya satu kuman sudah teratasi.
***
Di Tempat Penculikan Sarah ...
Bau ikan busuk menyadarkan Sarah dari lelapnya, buru-buru ia menutup mulutnya. Sialnya bau tersebut ternyata bisa menemukan celah pernapasan dan bikin batuk-batuk sampai napasnya sesak. Saat kakinya bergerak, ada suara kemericing. Kepala Sarah menoleh dan ternyata itu rantai yang tersambung ke salah satu ujung tempat tidur, kaki Sarah tidak terikat lagi di situ. Sarah berpikir bahwa saat pingsan tadi dia sempat diikat pakai itu lalu seseorang melepasnya.
"Gile, gue berasa kayak anjing aja," gumam Sarah, kembali tutup hidungnya sedikit lebih kencang. "Bau apaan sih ini? Padahal ini bukan gudang."
Mata Sarah memindai sekeliling, ini sungguh kamar tapi beberapa sisi dindingnya sudah dipenuhi lumut. Lemari yang pintu sebelah kirinya terbuka – mana tidak ada baju sama sekali – dan pencahayaan minim akibat jendela yang ditutupi oleh kayu yang dipaku dari luar.
Krek.
Sarah meringis kesakitan, pinggangnya nyeri ketika mencoba berdiri. Sarah mengingatkan diri untuk tetap rileks, maka begitu nyerinya berkurang ia langsung duduk dan meluruskan kaki. Celana dan pakaiannya sudah kotor, dan terakhir kali bersama Satya ia pakai sepatu sandal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputasi | ✓
Mystery / Thriller[SERI PANDORA #3] (21+) Cover by: shadriella. Satya Narayan Anggara (28), adalah cowok humoris, ganteng, gampang bergaul, dan digadang-gadang menjadi penerus Grup Anggara. Sebelum itu, Satya bekerja sebagai supervisor divisi pemasaran untuk jenjan...