BAB - 30: Labirin Refleksi

79 2 10
                                    

Sungguh pemandangan aneh tapi nyata.

Mata Satya bergerak ke seluruh ruangan serba putih ini, tidak ada jalan ujung. Tapak kaki pria itu seperti menginjak gerigi-gerigi halus seperti sandal refleksi. Aroma lavender dicampur musk mampir tiada henti. Lantai yang jadi pijakan kaki Satya saat ini terbuat dari kaca sehingga bayangan sepatunya terpampang nyata.

Bola mata pria itu mengerjap.

Ini gue dalam kondisi mimpi, kan? Tapi kenapa rasanya seperti bangun saja. Apa jangan-jangan gue sudah mati?

Kaki Satya mencoba bergerak, sesekali dia memutar badan dan ruangan putih itu menampakkan bayangan diri sendiri. Namun, bayangan itu tidak mengikuti pergerakannya dan sudut bibirnya terangkat. Langkahnya perlahan cepat, kemudian belok kiri, kanan, lurus, dan mundur seperti bentukan stik pengendali gim. Dari jalan kaki biasa, berubah jadi lari pelan. Napas Satya tak beraturan, dan panik memperparah. Bulir-bulir air berjalan turun dari pelipis, leher, dan kepala bagian belakang.

"Ini tempat apa?" tanya Satya pada diri sendiri di sela-sela larinya. "Kok semua serba putih, dan nggak ada ujungnya. Tempat apa ini wey ... TEMPAT APA INI? ANJENG WEY! APA INI?"

Energi lari Satya berangsur-angsur lemah, kakinya makin lama makin berat seperti ada batu yang menempel. Badannya ikut mati rasa sehingga pria itu jatuh dengan kedua tangan menumpu pada lantai keramik yang hangat, kakinya ia miringkan ke belakang dengan lurus agar tidak kesemutan, sekelilingnya terasa lambat.

Sungguh aneh bila tempat ini ada di dunia nyata, tapi ini seperti bukan mimpi karena tangannya menyentuh permukaan.

"Masa gitu doang capek, tadi aku hitungin larimu cuma lima menit."

Kepala Satya terangkat cepat, senyum lebar mengerikan muncul di tengah helaan napasnya. "Apa urusan lo? Lagi pula terserah ... gue dong. Badan juga badan gue, eh malah ngatur."

Sosok itu terkekeh. "Memang badan lo, tapi itu juga bagian dari badan gue, dan gue ngerti titik di mana memang lelah atau masih semangat."

Wajah mereka berhadapan, tapi mata Satya masih buram jadi belum bisa melihat sosok itu seutuhnya. Kelopak matanya naik turun seiring napasnya yang kembali normal, kepalanya ia miringkan sedikit dan terkuaklah sosok itu.

Pria yang mirip dirinya dengan balutan baju zirah yang terdapat noda merah besar di bagian dada kiri dan pinggang kiri. Perbedaannya adalah di wajah sosok itu terdapat kumis tipis yang tidak beraturan tumbuhnya di dagu, dan banyak noda hitam bekas lumpur di wajah seperti lagi istirahat perang. Di bagian lengan kiri dan kanan yang tak tertutup baju zirah banyak bekas sobekan akibat sabetan pedang. Bagian kharismatik dari pria itu hanyalah jubah beludru warna merah gelap yang tergantung di lehernya, ini juga sekaligus menegaskan otoriternya dia dahulu.

"Jadi lo ... yang namanya Putra Manakar? Reinkarnasi gue?" Sudut bibir Satya terangkat, membentuk kekehan cemooh.

"Bukannya lo yang reinkarnasi gue?" Putra Manakar bertanya balik. "Kan gue yang lahir lebih dulu dibanding lo, cuma ya Tuhan ambil nyawa gue lebih dulu terus masuk ke kehidupan lo."

Tangan Satya yang tadinya bertumpu di lantai mulai membentuk kepalan.

"Gue bener, kan, berarti?" ujar Putra Manakar, penuh kesombongan. Senyum seringai cemoohnya tercetak jelas saat sang lawan bicara semakin terlihat lemah.

Kepala Satya terangkat tegak. "Mau apa sih lo sebenarnya?"

Manakar mengangkat tubuh Satya dengan paksa, badan Satya terasa linu sampai-sampai ia mengerang dan berteriak lepas. Manakar hanya lempar dengusan kecil, "Sebenarnya, gue mau kasih tahu lo rahasia gimana gue bisa membunuh para serangga dengan cepat dan halus. Tapi karena lo lemah gini, ya, gue males jadinya."

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang