BAB - 19: Life Gambling

58 3 14
                                    

"Lo gila apa gimana sih, Ter?"

Terry masih asyik mengunyah cheesy omelet beef rice, menaburkan lada lagi di atas piring besi hitam. "Gue gila dari mana sih, Vik. Perasaan biasa saja deh."

Vika mengerang halus, menyandarkan punggungnya di sandaran empuk kursi panjang Pepper Lunch. Vika tidak habis pikir, bisa-bisanya dia masih merekrut Satya setelah video mesum terbarunya sama mendiang Sintia viral lagi. Teman-teman lamanya di kantor pada kaget dan tidak menyangka bahwa Satya yang slengekan tapi baik itu bisa melakukan hal paling hina. Ada juga yang bilang bahwa Satya sengaja melakukan hal senggama untuk menemukan titik tubuh yang paling pas untuk menusukkan benda tajam.

"Gue tahu kok." Terry menyuap telur dadar dan daging sapi lembar berlumur lada hitam ke mulutnya. "Faktor yang bikin gue mempertahankan Satya adalah kinerjanya di kantor gue itu bagus banget, Vik. Kalau nggak ada ide-ide dia, sponsored post nggak bakal sebanyak ini."

Angan Terry tertuju pada dia dan Satya yang mempresentasikan ide mendaki sampai puncak Mahameru pakai produk perkemahan dan tas carier merek Elang. Sponsor ini sudah Terry incar dari dulu gara-gara produk Elang yang dipakainya selalu awet. Terry tidak munafik, koneksi Papanya juga membantu, tapi hanya sebatas dikenalkan sisanya ya harus mengerahkan kemampuan sendiri. Sekarang tinggal menunggu ide timnya diacc sama pihak sana.

"Lo nggak mikir reaksi sponsor kesayanganmu itu? Gue yakin pasti mereka sudah lihat video mesumnya Satya." Daging sapi lembar yang tinggal satu di piring besi Vika langsung ia lahap dalam satu sendok penuh.

Tawa Terry membahana. "Butuh waktu bertahun-tahun persahabatan kita untuk lihat muka panik lo itu, Vik. Coba Rana ikut, pasti dia akan tepuk tangan. Akhirnya Vika si muka datar bisa nunjukkin panik juga."

Memang susah sekali berurusan dengan teman yang super santai begini. Apa orang kaya selalu mengentengkan situasi begini?

"Hey, gue beneran panik," balas Vika, sebisa mungkin tidak menunjukkan rasa kesal. "Gue cuma ngingetin aja nih, sisanya di lo sendiri."

Tangan Terry mengelus punggung tangan sahabatnya yang terkenal serius ini. "Pokoknya, Vik, lo tenang aja. Semua masalah ada jalan keluarnya, gue cuma pakai kartu privilese kalau situasi darurat aja."

Mereka berdua larut dalam ponsel masing-masing untuk menunggu makanan mereka terserap lambung. Salah satunya langsung tutup mulut dan mengecilkan suara ponsel sampai bawah sekali begitu layar ponselnya menampakkan adegan senonoh salah satu ibu pejabat. Mata Vika memicing, bolak-balik jeda dan mainkan untuk memastikan punggung pria itu adalah orang yang paling ia kenal.

Ternyata benar.

"Ter, Ter," panggil Vika dengan cara mencolek lengan Terry yang bertumpu pada meja. Masih tidak ada respon, colekan Vika berubah jadi cubit tipis seperti digigit semut.

Pandangan Terry beralih dari ponselnya. "Lo kenapa panik lagi, sih? Satya berulah kayak gimana lagi?"

"Bukan dia, nih lihat sendiri mantan pujaan hati lo itu." Vika menyerahkan ponselnya pada Terry.

Badan Terry remuk ketika melihat sendiri perbuatan yang dilakukan oleh Koko Tian. Walau wajahnya tidak terlihat, Terry sungguh hafal dengan punggung berotot dan rambut yang bagian bawahnya selalu rapi serta tahi lalat di belakang telinga. Mata Terry berkedip berulang-ulang, sekuat tenaga menahan air yang menggenangi bola matanya.

***

2019

"Papa tahu, kamu sayang sekali sama Tian. Menurut Papa juga anaknya baik dan sopan. Namun, Nak, status kalian itu berbeda. Papa tidak ingin ke depannya kamu menderita."

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang