BAB - 28: Ambiguitas

59 2 17
                                    

"Menurutmu pelakunya siapa, Sat?"

Pandangan Satya beralih dari ponsel, menoleh ke mantan Kekasihnya yang masih terpaku pada layar. "Ha? Maksudnya gimana, Sar?"

"Ini," tunjuk Sarah pada foto yang menampilkan dua perempuan berambut sama tapi gaya pakaian dan warna bajunya berbeda. Mata Sarah terpicing, berusaha baca gerak-gerik mereka berdua. Foto ini diambil beberapa detik setelah Satya selesai diangkut ke kamar bersama Sintia – Sarah hafal baju putih polos model tanktop tali sedang Sintia karena itu yang dipakai di foto comcard-nya. "Mereka ... kayaknya menutupi panik dengan cara pura-pura debat. Pintar juga mengecoh pihak-pihak terkait sehingga tidak kelihatan siapa pelaku sebenarnya."

"Menurut gue ...." Kalimat Satya terhenti sejenak karena memajukan kepala sedikit, Sarah langsung memperbesar foto dengan kursor sentuh. "Yang pakai baju putih sih, soalnya gerak-geriknya siap tarung gitu."

"Ini mereka berdua pintar lho, Sat." Sarah kemudian memasukkan foto ini ke aplikasi pemindai wajah, dan tidak menunjukkan biodata dua osok itu dengan alasan bahwa foto terlalu buram dan wajahnya tidak terlihat. "Karena cctv akan tetap mengetahui wajah mereka walau buram, jadinya nunduk atau membelakangi kamera adalah jalan satu-satunya. Ini juga terjadi beberapa jam sebelum kamu keluar." Sarah kembali mempercepat video cctv tambahan dari temannya yang menunjukkan hal sama ke dua perempuan yang kembalinya beda beberapa menit dengan takut-takut, tapi tetap nggak terlacak oleh aplikasi pemindai wajah.

"Coba Sar, yang bagian lift," perintah Satya.

Sarah langsung memindahkan pergerakan rekaman cctv ke lift yang ternyata kosong.

"Berarti mereka ke tangga darurat, Sar? Coba deh ke situ."

Sarah melakukan hal yang sama, tapi tetap saja kamera menunjuk ke atas kepala dan punggung, dan pergerakannya pun takut-takut. Jari Sarah menekan tombol untuk tangkap layar untuk masing-masing tangga darurat. Keduanya pun tak bisa terlihat dari depan karena kamera yang menyorot wajah mereka tidak terekam alias pas masih mati.

"Ini pasti ada salah satu karyawan keamanan di pihak mereka," gumam Sarah setengah kecewa. "Anehnya lagi nih, Sat, Om Sarwo malah terdeteksi ke pemindai wajah."

"Kalau gitu Om Sarwo dong pelakunya?" Satya mengeluarkan hipotesis gegabahnya.

Sarah menggeleng cepat. "Om Sarwo itu tipe Bapak-bapak hidung belang yang pengecut sekali, jadi mana mungkin bisa merencanakan pembunuhan serapi ini. Jadi direktur utama aja nggak becus, apalagi gini."

"Pantes aja pelanggan lo pada setia." Senyum miring terkesan lucu tercetak dari ujung bibir laki-laki itu. "Lo bisa ngertiin mereka banget, memuaskan kebutuhan lahiriyah yang tidak didapatkan dari pasangan."

"Sama kayak lo, kan, yang gonta-ganti cewek seperti ganti baju demi eksistensi dan mempertahankan validasi kenarsisan lo itu?" balas Sarah sebagai serangan balik, tanpa menoleh sama sekali.

Kepala Satya mengenai headboard tempat tidur, lagi malas menanggapi mulut tajam Sarah. Matanya terus tertuju ke ponsel, sudah hampir satu jam belum ada balasan dari Aziz. Lirikannya tertuju pada Sarah yang bertopang dagu, mungkin masih kesal belum ada titik terang.

"Untung aja lo nggak—"

TING!

Ucapan Satya terpotong oleh bunyi notifikasi ponselnya, mata yang tadinya berbinar-binar karena Aziz membalas pesannya langsung musnah begitu tahu isinya.

Aziz: Sorry Bro, gw nggak tahu arti kalimat yg lo maksud.

"Nyebelin emang," gerutu Satya dengan tangan terlipat dan bibir dipilin.

"Kenapa sih lo? Labil bener, sebentar ketawa sebentar sedih," gumam Sarah yang sejenak meninggalkan layar laptop untuk buka pesan grup karyawan Devina Boutique terkait perkembangan fashion show-nya.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang