Rumah Sakit Bhayangkara, tempatnya Terry.
"BANGSAT KALIAN SEMUA, BANGSAT KAMU, SAT."
Dentingan borgol yang bergantung di brankar Terry tak berhenti bunyi sejak satu minggu lalu. Sama seperti kalimat tidak pantas tadi, tidak heran Papanya Terry yang tidak pernah main tangan terpaksa menampar putri tunggalnya itu.
Tangan beliau bergetar, berusaha menahan lelehan air mata. Buru-buru ia menarik kursi besi agar tak terjatuh di lantai marmer. Badannya mendadak kaku, batinnya berharap bila Tuhan mau ambil nyawanya sekarang dia ikhlas. Ayah mana yang tega menampar Putrinya sendiri, kali ini ia benar-benar gagal mendidik putri semata wayangnya itu. Rasanya masih tidak siap menunjukkan wajah jika berhadapan dengan keluarga Mahendra, terutama Mas Bamantara.
"PAPA JAHAT, PAPA TEGA," jerit Terry, rambut panjangnya bergerak kemana-mana sehingga wajahnya tertutup. "PAPA SAMA AJA KAYAK POLISI TAK BERHATI NURANI ITU. TERRY NGGAK SALAH APA-APA, YANG SALAH ITU SATYA DAN KELUARGA ANGGARA. KENAPA PAPA MALAH PUKUL TERRY, SIH?"
Salah satu polisi yang berjaga mendorong pintu dan menghampiri Papa Terry. Ia mengguncang tubuh Terry untuk berhenti, tapi gadis itu malah semakin memukul dada Polisi itu dengan keras pakai tangan kiri. Solusi terakhir adalah memborgol tangan kiri tersebut. Setidaknya kali ini perempuan itu diam dan infusnya tidak mengeluarkan darah.
"Apa Bapak baik-baik saja, ada yang bisa kami bantu?" tanya Polisi itu, berada di sisi kanan Papa Terry. Tidak peduli dengan pelototan menakutkan Terry di balik rambut hitam gelombangnya itu.
Pegangan di bahu itu menyadarkan Papa Terry kembali ke realita, ia menggeleng halus. "Tidak, saya hanya kaget saja, kok. Maaf sudah mengganggu waktu Bapak."
Pak Polisi itu mengangguk takzim. "Kalau begitu, saya permisi dulu, bila Bapak butuh apa-apa bisa langsung panggil kami di depan."
"Terima kasih."
Ketika kembali berdua, Papa Terry baru bisa bicara lebih lancar. "Pertama, Papa minta maaf sudah bikin kamu kesakitan. Namun, hanya ini satu-satunya cara bisa bikin kamu tenang. Coba bayangkan, dari kamu sadar sampai mau pulih kamu masih nggak mau kooperatif. Hukumanmu bisa diperberat." Jemari Papa menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Terry.
Pelototan Terry berubah jadi tatapan memohon lalu merengek manja. "Tapi ... tapi ... Terry nggak salah sama sekali. Mereka yang bikin Terry jadi gini, Pa."
"Maka dari itu, buktikan kalau Terry tidak bersalah dengan kooperatif sama Pak Polisinya, ya," tutur Papa Terry sehalus mungkin.
Bibir Terry maju, matanya mulai berlinang air mata sehingga tangan kanannya yang bebas infus menyeka mata.
"Mau, ya, Sayang? Papa kebetulan punya teman pengacara, dan akan bantuin kamu. Jadi nanti nggak usah bingung," bujuk Papa Terry lagi, samar-samar terdengar isak tangis di balik tangan yang menutup wajah Terry.
Tangan Terry tersingkir, wajah sedihnya berubah antusias. "Beneran, Pa? Terry bisa bebas dong berarti?"
"Bukan bebas yang bebas beneran." Kalimat ambigu Papanya bikin Terry merengut lagi, dan Sang Papa buru-buru menjawab. "Setidaknya kemungkinan hukuman kamu diringankan. Papa jamin, tidak akan ada yang mengganggumu jika masuk penjara nanti."
Tentu saja jawaban itu bikin Terry teriak kegirangan sampai peluk Papanya erat sekali, seperti tidak mau dilepas. Namun, berbeda dengan wajah Papa yang makin cemas. Pikirannya lebih tertuju pada nasib perusahaannya yang sudah kena kecaman sana sini, perusahaan blog Terry yang langsung bangkrut dalam hitungan minggu dan beri pesangon banyak ke semua karyawan yang kena PHK – ini terjadi setelah dia menghilang dari kejaran polisi. Banyak brand minta putus kontrak dan minta tulisan blog dan videonya diturunkan, tentu saja bagian bayar penalti-nya jadi pembahasan penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputasi | ✓
Mystery / Thriller[SERI PANDORA #3] (21+) Cover by: shadriella. Satya Narayan Anggara (28), adalah cowok humoris, ganteng, gampang bergaul, dan digadang-gadang menjadi penerus Grup Anggara. Sebelum itu, Satya bekerja sebagai supervisor divisi pemasaran untuk jenjan...