Kombinasi Suara klik dan kamera tidak berhenti menyoroti Satya yang sedang digiring dua pria berseragam. Pertanyaan-pertanyaan heran dari wartawan terlalu cepat, dan Satya memilih menundukkan kepala. Bukannya dia malu mengakui kesalahan, tapi cahaya lampu blitz bikin sakit mata. Satya berkali-kali mengumpat dalam hati bahwa matahari belum sepenuhnya tenggelam dan wajahnya di kamera bisa rawan belang.
Ini orang-orang bisa nggak sih dapat foto gue yang enakan, gitu?
Para wartawan itu terheran-heran, biasanya tersangka akan menunduk malu atau kesal sampai meletakkan tangan pada lensa bila marahnya mereka sudah di ubun-ubun. Namun, Satya tetap terlihat percaya diri hanya berontak sedikit karena ia sempat diseret layaknya sapi terpaksa masuk kandang.
Satya digiring ke ruang interogasi, tempatnya remang-remang dan dindingnya penuh kedap suara. Di situ juga tersedia meja dan dua kursi kayu berkualitas baik, walau bukan kayu jati saat Satya merabanya sebentar. Sambil menunggu, matanya menyebar ke segala arah. Kepalanya ia miringkan pada ujung atas sebelah kiri, tersenyum lebar menampakkan gigi. Prediksinya tepat, itu adalah kamera. Berikutnya, bola matanya bergerak lurus pada kaca tebal. Alisnya naik turun diiringi senyum menyebalkan. Satya menyebarkan hawa menantang pada siapa pun yang jadi operator komputer.
Dua orang berpakaian bebas membuka pintu, satunya ia yakin pasti senior dan satunya junior. Satya berusaha menetralkan ekspresinya, walau aura intimidasi dari mereka berusaha menciutkan nyalinya. Si senior yang duduk di hadapannya sedang menyalakan laptop lalu menanyakan identitas Satya. Sedangkan si Junior berdiri di pojokan belakangnya persis, seakan siap menghajar jika Satya melawan.
Padahal tangan gue masih diborgol gini diliatin melulu, nyebelin emang. Memangnya gue ini cowok apaan?
Barulah si detektif senior itu meletakkan lembar-lembar foto di meja. Hati Satya mencelus terhadap jenazah Sintia yang tidak pernah dilupakan. Foto-foto itu memuat luka tusuk di badan dan selangkangan. Satya mengigit bibir, ini sungguh menyakitkan dan melebihi film genre thriller yang selalu ia tonton sama Obi di kala waktu luang. Selain itu ada barang bukti berupa pisau, jejak darah di kasur dan lantai.
"Pak, saya nggak tahu apa-apa soal ini. Saya sudah menuturkan sejujurnya dari sebelum naik status." Satya mendesah, kesal dengan pertanyaan berulang-ulang. Tentang kegiatan pesta, tiba-tiba sudah berganti ruangan yang dianggap para polisi sebagai fenomena di luar nalar alias dukun -- versi halus dari tidak percaya.
Ini adalah panggilan ketiga sejak dua minggu yang lalu. Pada dua panggilan kemarin, dia hanya berstatus saksi, dan sekarang kondisinya berbeda.
"Terus apa Anda bisa menjelaskan ini?" Detektif senior itu menyunggingkan senyum kecil sambil membalikkan laptop dengan layar video cctv di mana Satya mengendap-endap ketakutan di dua sisi koridor.
"Pak, sudah saya bilang dari kemarin," pekik Satya sambil menggoyangkan tubuh seperti anak kecil yang penjelasannya tidak dipercaya orang dewasa. "Iya, itu saya lagi keluar dari kamar Sintia, saya waktu itu panik dan ketakutan."
"Lantas, mengapa tidak melaporkan pada kami?"
"Bapak tahu respon panik orang beda-beda, kan?" Tanya Satya balik, menetralkan panik akibat pelototan si senior. "Terus, jika saya laporkan saat itu apa Bapak sekalian cepat tanggap? Lha kasus korban kekerasan seksual aja lamban gitu."
"Beda konteks, ya." Si Senior menaikkan nada suara.
Satya tidak percaya, ternyata jurus satir dan sindir ini tidak mempan pada Pak Polisi. Si Junior bergerak maju, tapi tidak jadi karena lirikan tajam yang mengatakan bahwa situasi masih aman terkendali.
"Terus, mengapa ada sidik jari Anda di pisau ini?" Senior itu mengangkat plastik bening dengan stiker label angka 05 berisi pisau. Satya baru tahu ternyata pisau dapur ukuran sedang yang biasa digunakan pelayan rumah untuk potong tomat dan bawang, sejenak dia mengucap syukur bukan belatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputasi | ✓
Mystery / Thriller[SERI PANDORA #3] (21+) Cover by: shadriella. Satya Narayan Anggara (28), adalah cowok humoris, ganteng, gampang bergaul, dan digadang-gadang menjadi penerus Grup Anggara. Sebelum itu, Satya bekerja sebagai supervisor divisi pemasaran untuk jenjan...