BAB - 23: Jarum di Tumpukan Jerami

61 3 20
                                    

Jakarta dan macetnya adalah paket kombo yang tak pernah terpisahkan. Selepas mengambil mobil Pajero yang nginap di bengkel Koko Tian – akibat serangan tak dikenal – punggungnya terasa pegal. Sambil menggerakkan badannya ke kiri dan kanan serta sesekali meluruskan tangan di tengah-tengah suara klakson, pikirannya berkelana soal flashdisk kerjanya tersebut. Dia tidak mengintip apa yang Aziz transferkan dari ponsel ke benda mini tersebut. Namun, Aziz hanya bilang bahwa isinya adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk mencari pelaku perusak nama baik dan instalasi aplikasi pemindai wajah versi portable di mana hanya untuk laptop saja.

Apartemen baru Satya tidak seindah Griya Tawangnya dulu, tapi tidak terlalu sesak karena apartemen satu kamar ini harga sewanya sesuai dengan kantong. Penataan interiornya masih belum banyak, dia baru beli sofa, televisi, meja dan kursi kerja dengan alat tulis yang sudah tertata rapi di situ, tempat tidur, dan beberapa rak untuk sepatu dan pakaian di lemari lebar yang tingginya sampai langit-langit plafon apartemen.

Beberapa minggu menghuni di sini antara senang dan tidak senang. Senang karena perusahaan properti yang bikin apartemen ini bukan kolega Grup Anggara, tidak senang karena ini benar-benar apartemen tanpa kedap suara soalnya kadang suka dengar suara berisik atau desahan dari penghuni sebelahnya. Ini juga yang bikin setiap pertemuannya dengan Sarah dilakukan di apartemennya atau restoran private.

Satya meletakkan tas kerjanya di sofa, dia membersihkan diri lebih dulu. Pria itu tidak percaya tentang mitos mandi malam bikin rematik, yang penting lengket di badan segera lenyap. Pakaiannya sekarang berganti jadi kaus bahan katun warna pink-nya Lacoste dipadu dengan Moncler cotton pants warna coklat terang.

Dengan dua buah roti gandum dengan hasil olesan Puck cream cheese di atasnya, Satya menyalakan laptop sambil mengunyah roti seharga lima belas ribu hasil beli di GaraMart yang terletak di lantai dasar.

"Ah tetap saja ekspansi Papi dimana-mana, apa gue harus balik ke New York lagi?" keluh Satya begitu selesai mengunyah dan sedang mengacak isi tas kerja bagian depan.

Ponselnya berbunyi, dan Satya mengabaikan begitu lihat siapa yang menelepon. Namun, panggilan itu terus menganggunya sampai percikan amarah itu muncul.

"Ada apa, Mas?" tanya Satya datar.

"Ganti ke panggilan video dong, Dek."

Bila Mas Anton sudah panggil Dek, berarti ada yang mau diomongkan serius. Satya menuruti perintah Kakak sulung, begitu muncul wajahnya yang menunjukkan gurat lelah Satya menaruhnya di holder ponsel.

"Mas mau ngomong apa?"

Mas Anton berdeham. "Kamu beneran nggak akan balik ke rumah Menteng, Dek? Bahkan untuk pesta lelang perhiasan Kisa yang kerjasama dengan panti asuhannya Mami?"

"Aku, kan, secara teknis diusir dari rumah, Mas. Malu dong kalau misalnya menunjukkan muka dikit. Itu juga sudah kesepakatanku sama Papi sampai masalahku selesai."

"Pantesan kamu sudah nggak ada di griya tawangmu itu." Mas Anton manggut-manggut.

"Sudah pindah seminggu setelah Papi cabutin fasilitasku."

Mas Anton mendengus. "Halah meskipun dicabut tapi kamu bisa bertahan. Kalau dilihat dari model apartemen barumu."

"Untungnya obligasi dan tabungan terkait kebutuhan pokok masih ada."

Dengusan Mas Anton berganti dengan senyum bangga. "Walau kamu urakan, nakal, suka bikin ulah, tapi kalau soal uang kamu selalu lebih unggul dari aku, Dek. Mas bangganya hanya bagian itu saja. Ilmu yang kamu dapat dari kuliah berguna juga akhirnya."

"Jelas dong, Mas. Nggak percuma Papi sama Mami buang aku ke New York dengan kedok kuliah Bussiness administration NYU," balas Satya bangga.

Pujian selalu bikin mood Satya naik.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang