BAB - 5: Exposed (1)

236 14 20
                                    

Satya memutar bola mata saat membaca artikel dari media gosip. "Padahal masih banyak artikel-artikel oke lainnya. Kenapa harus bahas keberadaan gue di after party sih?" Dia mendesis kesal di kubikel. Tapi, pria itu tidak baca judul sama sekali, hanya fokus pada gambar-gambarnya saja.

Foto-foto ciumannya dengan Terry dengan mudahnya tersebar di media. Pengambilannya tampak dari jarak jauh dan menggunakan kamera ponsel. Dia teringat perkataan Nira, bahwa secanggih-canggihnya kamera ponsel hasilnya tidak akan setajam kamera DSLR. Buktinya adalah wajah Terry tidak tampak, hanya bagian samping dirinya saja. Jika tampak samping, mereka menyensor wajahnya. Gerakan ciuman mereka terlihat aestethic dan elegan di kamera.

Satya refleks memegang bibirnya, senyumnya terukir. Dia terbiasa berciuman dengan jenis-jenis perempuan, tapi dengan Terry ada yang berbeda. Ciuman itu ... terasa polos dan lembut. Satya memang setengah mabuk, jadi masih bisa merasakan sisa cecapan itu. Belum lagi jemari mungil dan lentiknya perempuan imut itu berhasil mengaktifkan gairah dalam diri Satya yang sedang meletup dalam kuali pikiran. Kehadiran Terry sungguh menaikkan mood-nya yang buruk akibat kehadiran mantan dari antah berantah.

Angan itu buyar dengan bunyi getaran ponsel di meja. Dia memang selalu membedakan ritme getaran dan nada dering untuk keluarga, sahabat, rekan kerja, dan relasi. Kali ini, dari bunyinya yang patah-patah pertanda dari bagian pertama.

"Halo, ada apa, Mi?" tanya Satya. Syukur Mami meneleponnya saat jam istirahat kantor.

"Mau sampai kapan kamu ekspos foto ciumanmu sama perempuan-perempuan nggak jelas itu?" Suara Mami terdengar gusar, ini sungguh tidak biasa.

Satya mencium bau kejanggalan di sini. "Ya ampun, Mi, cuma ciuman biasa doang. Lagi pula sudah biasa gini juga, kan?"

Terdengar desahan napas Mami. "Kamu bisa pulang, akhir pekan ini? Acara makan malam keluarga, dan hari ini Masmu ikut."

Bila suara Mami terdengar lelah seperti ini, berarti beliau ingin penjelasan langsung dari mulut Satya tanpa perantara komunikasi. "Baiklah, Mi. Akhir pekan ini Satya pulang."

Ketika panggilan dari Mami tertutup, Vika mendengus ke arahnya sebelum duduk di kubikelnya. "Anak Bos mah bebas banget, ya."

Entah kenapa, kali ini Satya malas meladeni cemooh Vika.

***

Makan malam yang dimaksud Mami adalah makan malam keluarga. Satya tersenyum miris mengingat momen masa kecilnya, momen ini bisa dinikmati setahun sekali. Selebihnya, semua punya urusan masing-masing. Bahkan, Satya kecil lebih nyaman main dengan Bu Nada – mantan babysitter-nya dari TK sampai SD kelas enam yang sekarang sudah bahagia di kampung dan anaknya tiga tahun lebih tua dari dia.

Meja makan bundar sangat luas dengan ukiran kayu jati di berbagai sisi, hiasan vas bunga ukuran jumbo sebagai pemanis di tengah dengan lilin tiga tingkat di mana tingginya melebihi vas. Satya takjub melihat pelayan rumah menata piring, sendok garpu, dan pisau secantik mungkin. Apa lagi waktu bagian lipat serbet abu-abu membentuk segitiga ala perahu kertas lalu menaruhnya di bagian tengah piring sepresisi mungkin.

"Ah, anak Mami yang bandel ini akhirnya datang ke makan malam juga setelah sekian lama." Mami muncul dari pintu samping bar luas yang lemarinya punya kotak kaca satu persatu berisi koleksi bir lama milik Papi.

"Bandelnya Satya, kan, nggak bikin Mami sama Papi namanya tercoreng." Satya menghampiri Mami yang hari ini mengenakan gaun krem dengan aksen renda di lengan dan bagian atas pakaian hingga mata kaki. Satya berhati-hati cipika cipiki dengan Mami agar tidak ada alas bedak atau lipstick yang tertinggal di pipi. "Tatanan rambut Mami, ih, keren banget. Ada sisa anak rambut menjuntai terus sempet dikeritingin sedikit sebelum sanggul, ya?"

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang